PENANGANAN TINDAK PIDANA PERIKANAN OLEH PPNS PERIKANAN DI MASA PANDEMI COVID-19

Selasa, 12 Mei 2020


PENANGANAN TINDAK PIDANA PERIKANAN OLEH PPNS PERIKANAN

DI MASA PANDEMI COVID-19

 

 

World Health Organization (WHO) pada tanggal 11 Maret 2020 telah mengumumkan status pandemi global untuk Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)[1], sebulan kemudian pada tanggal 13 April 2020 pemerintah Indonesia menetapkan Covid-19 sebagai bencana nasional melalui Keputusan Presiden RI Nomor 12 Tahun 2020.  Upaya yang ditempuh oleh pemerintah dalam mencegah penularan dan penyebaran Covid-19, dilaksanakan melalui kampanye social distancing dan physical distancing, yang selanjutnya diikuti dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di berbagai daerah. Hal ini tentunya berdampak pada sektor sosial, ekonomi, dan tentunya penegakan hukum.

 

Respon cepat kemudian dilakukan oleh beberapa kementerian/lembaga (K/L) dengan mengeluarkan berbagai kebijakan di sektor hukum untuk pencegahan pandemi Covid-19 ini namun proses peradilan tetap harus berjalan, setidaknya ada tiga lembaga yang terlibat dalam proses peradilan dengan cepat menyikapi hal ini yakni :

 

Pertama, Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 yang diterbitkan tanggal 23 Maret 2020, edaran dimaksud menjadi dasar pi­jakan bagi lem­baga peradi­lan kai­tan­nya dalam proses pene­gakan hukum  pi­dana, yang kemudian pada tanggal 26 Maret 2020 Badan Peradilan Umum MA mengeluarkan Memorandum Nomor 72/DJU/PS.003/2020 terkait sidang pidana secara telekonfrensi;

 

Kedua, Kementerian Hukum dan HAM menerbitkan Surat Menteri Hukum dan HAM kepada Ketua MA, Jaksa Agung dan Kapolri nomor M.HH.PK.01.01.01-04 tanggal 24 Maret 2020 perihal Penundaan Sementara Pengiriman Tahanan ke Rutan/Lapas di Lingkungan Kementerian Hukum dan HAM sebagai Upaya Pencegahan Penyebaran Covid-19, yang menyampaikan bahwa terhitung mulai tanggal 18 Maret 2020, kegiatan pelayanan kunjungan, penerimaan tahanan baru dan kegiatan sidang ditunda sampai batas waktu yang akan diberitahukan kemudian serta dimohon agar dilakukan penundaan pengiriman tahanan ke Rutan/Lapas di lingkungan Kemenkumham; dan

 

Ketiga, Kejaksaan Agung mengeluarkan surat yang ditandatangani oleh Jaksa Agung perihal Optimalisasi Pelaksanaan Tugas, Fungsi, dan Kewenangan di tengah Upaya Mencegah Covid-19, yang salah satu poinnya mengupayakan sidang pidana menggunakan video conference/live streaming. Dan dipertegas dengan dikeluarkan Intruksi Jaksa Agung Nomor 5 tahun 2010 Tentang Kebijakan Pelaksanaan Tugas dan Penananganan Perkara Selama Masa Pencegahan Covid-19 di Lingkungkan Kejaksaan RI. Serta diterbitkan Surat Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Umum (Jampidum) kepada Kepala Kejaksaan Tinggi dan Kepala Kejaksaan Negeri seluruh Indonesia nomor B-1271/E/EJP/03/2020 tanggal 24 Maret 2020 perihal Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum dalam masa tanggap darurat Covid-19, yang menyampaikan untuk melakukan koordinasi dengan jajaran Kepolisian, Kanwil Kemenkumham/Kalapas dan Pengadilan Tinggi maupun Pengadilan Negeri untuk melakukan penundaan pelimpahan tersangka dan barang bukti (Tahap II) dan apabila mendesak dalam hal masa tahanan habis, tahap II tetap dapat dilaksanakan dengan ketentuan penyidik bersedia menerima penitipan tahanan tersebut, serta melaksanakan persidangan sesuai jadwal.

 

Kebijakan-kebijkan dimaksud di atas menunjukkan spirit dari asas hukum salus populi suprema lex esto bahwa keselamatan rakyat merupakan hukum yang tertinggi. Hal ini dapat dinilai bahwa petinggi dari K/L dimaksud yang mengambil kebajikan secara filosofi menempatkan hukum yang baik adalah hukum yang memberi kemaslahatan bagi masyarakat ter­ma­suk bagi para pene­gak hukum itu sendiri dan selaras den­gan tu­juan hukum itu sendiri.

 

Proses penanganan tindak pidana yang dikenal dengan criminal justice system (CJS) melibatkan berbagai unsur penegak hukum, yang pada prosesnya membutuhkan tahapan yang berjenjang dan waktu yang cukup lama karena melibatkan banyak pihak baik warga negara sebagai pelapor, kuasa hukum, tersangka dan/atau saksi, penyidik, penuntut umum, dan pengadilan. Dampak dari situasi pandemik Covid-19 dan berbagai kebijakan yang dikeluarkan terkait proses peradilan, dampaknya dialami oleh penyidik sebagai hulu dari CJS.

 

Dampak kondisi dan kebijakan yang dimaksud terkait dengan proses penyidikan, yang tentunya penyidik akan berinteraksi dengan tersangka dan/atau saksi dan juga dengan adanya kebijakan dari Jampidum untuk melakukan penundaan pelimpahan tersangka dan barang bukti (Tahap II). Terkhusus PPNS Perikanan dimana ada interaksi dengan awak kapal asing pelaku tindak pidana perikanan (TPP), serta keterbatasan waktu masa penyidikan, masa penahanan tersangka, dan ketersediaan Rumah Penampungan Sementara (RPS) milik Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (Ditjen PSDKP) untuk menampung para awak kapal yang diduga melakukan tindak pidana perikanan.

 

 

Fenomena Penanganan Tindak Pidana Perikanan di Masa Pandemi Covid-19

Tingkat kriminalitas selama masa pandemi Covid-19 yang dilansir oleh Liptutan6.com meningkat 11,8 % selama masa PSBB di Jakarta dan beberapa daerah. Kabarharkam Polri menyatakan naiknya tingkat kriminalitas salah satunya disebabkan banyak orang yang terdampak secara ekonomi di tengah pandemi dan adanya pemanfaatan situasi PSBB yang membuat lingkungan sepi[2]. Bagaimana dengan kejahatan yang terjadi di laut ? khususnya terkait tindak pidana perikanan ! Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan selama masa pandemi Covid-19 aksi pencurian ikan oleh kapal-kapal asing di perairan Indonesia dalam tren meningkat. Sebanyak 70% penangkapan kapal asing terjadi selama 1,5 bulan[3].

 

Berdasarkan data Direktorat Penanganan Pelanggaran Ditjen PSDKP dalam kurun waktu Januari sampai dengan April 2020 tercatat ada 44 kasus tindak pidana perikanan yang ditangani oleh PPNS Perikanan, selangkapnya ditampilkan pada grafik di bawah.

 

Grafik 1. Data Penanganan TPP oleh PPNS Perikanan Tahun 2020

Sumber: Dit. Penanganan Pelanggaran Ditjen PSDKP, 8 Mei 2020

 

Pada periode Januari-Februari 2020 sebelum virus Covid-19 ditetapkan sebagai pandemi ada 7 kasus, kemudian di bulan Maret 15 kasus yang selanjutnya pada bulan April naik menjadi 22 kasus, dengan total kasus selama masa pandemi di bulan Maret dan April ada 37 kasus, dapat disimpulkan secara persentase di tahun 2020 kasus tindak pidana perikanan naik 428,5 % selama masa pandemi Covid-19.

 

Penanganan tindak pidana perikanan terhadap 37 kasus merupakan hasil operasi  Kapal Pengawas Perikanan sebanyak 28 kasus penangkapan kapal perikanan, dengan 6 kasus diproses secara splitsing. Sedangkan 3 kasus hasil operasi pengawasan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan daerah terkait penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan bahan kimia. Adapun rekapitulasi kasus-kasus dimaksud dapat dilihat pada tabel 1 dan tabel 2 di bawah ini.

 

Tabel 1. Data Penanganan TPP Hasil Operasi Kapal Pengawas Tahun 2020 di Masa Pandemi Covid-19 (Maret-April)

Sumber: Dit. Penanganan Pelanggaran Ditjen PSDKP, diolah Penelaah, 9 Mei 2020

 

 

Tabel 2. Data Penanganan TPP Hasil Operasi Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Tahun 2020 di Masa Pandemi Covid-19 (Maret-April)


Sumber: Dit. Penanganan Pelanggaran Ditjen PSDKP, diolah Penelaah, 9 Mei 2020

 

Berdasarkan pada Tabel 1, ada 12 kapal berkebangsaan Vietnam, 7 kapal kebangsaan Malaysia, 4 kapal kebangsaan Filipina, 4 kapal kebangsaan Indonesia, dan 1 kapal kebangsaan Taiwan. Untuk lokasi penangkapan 12 kapal di Laut Natuna, 7 kapal di Selat Malaka, 5 kapal Di Laut Sulawesi, dan 4 kapal di Laut Jawa. Sedangkan pada Tabel 2, menerangkan semua pelaku tindak pidana perikanan berkewarganegaraan Indonesia dengan lokasi penangkapan di Teluk Tomini, Pantai Labuhan, dan Perairan Desa Padei Laut.  Dengan maraknya Kapal Ikan Asing (KIA) yang ditangkap menjadi tantangan bagi PPNS Perikanan karena tentunya akan berinteraksi dengan awak kapal berkewarganegaraan asing yang berpotensi menularkan virus Covid-19, selain itu ada beberapa kelompok masyarakat di berbagai daerah yang menolak kapal asing bersandar di pelabuhan dan dermaga.

 

Untuk bahan perbandingan lainnya, ditampilkan perbandingan tindak pidana perikanan di bulan Maret-April 2019 dengan Maret-April 2020 di masa pandemi Covid-19 dengan asumsi kondisi yang sama pada faktor musim penangkapan, arah angin dan intensitas operasi pengawasan.

 

Grafik 2 Perbandingan Penanganan Kasus TPP Maret-April 2019 dan 2020

Sumber : Direktorat Penanganan Pelanggaran Ditjen PSDKP, diolah Penelaah, 9 Mei 2020

 

Grafik 2 di atas menunujukkan adanya tren penurunan tindak pidana perikanan, pada Maret-April 2019 total kasus ada 40, sedangakan pada Maret-April 2020 total kasus sebanyak 37. Secara persentase di masa pandemi Covid-19 dibandingkan masa normal di Maret-April 2019 mengalami penurunan sebesar 7,5%.

 

Adanya dua perbandingan dapat menghasilkan dua kesimpulan yang berbeda, hal ini tergantung dari sudut pandang mana kita melihat angka dimaksud, jika melihat persentase penanganan kasus di tahun 2020 maka ada tren kenaikan kasus di masa pandemi Covid-19 sebesar 428,5%, namun jika melihat perbandingan dengan tahun 2019 maka ada tren penurunan kasus di masa pandemi Covid-19 sebesar 7,5%.

 

Tren penurunan penanganan kasus tindak pidana perikanan di masa pendemi Covid-19 tidaklah signifikan yang hanya selisih 3 kasus dari tahun sebelumnya, tetapi yang patut diapresiasi adalah tren peningkatan penanganan tindak pidana perikanan di masa pandemi yang signifikan sebesar 428,5% dari dua bulan sebelumnya di tahun 2020.

 

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tren peningkatan, dan apabila menyimpulkan bahwa tren peningkatan tersebut adalah disebabkan oleh masa pandemi Covid-19 yang dijadikan kesempatan bagi pelaku illegal fishing, maka hal itu perlu dilakukan penelitian dan pembuktian lebih lanjut. Tetapi, apabila melihat fenomena dan data-data yang disampaikan di atas, maka kondisi pandemi Covid-19 akan berpotensi terjadi kerawanan yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku ilegal fishing.

 

Dengan banyaknya kapal pelaku tindak pidana perikanan yang ditangkap pada masa pendemi Covid-19, berimbas kepada penanganan awak kapal pelaku tindak pidana perikanan yang penanganannya dilaksanakan di RPS.  Hal ini dapat dijadikan perhatian dalam fenomena penanganan tindak pidana perikanan di masa pandemi Covid-19 yaitu terkait kapasitas RPS yang belum memadai apabila diberlakukan sesuai protokol pencegahan penularan dan penyebaran Covid-19.

 

Ditjen PSDKP memiliki beberapa RPS, yang berfungsi sebagai tempat penampungan sementara bagi pelaku tindak pidana perikanan, yang tersebar di beberapa UPT PSDKP di daerah. RPS yang terbesar dalam skala kapasitas yaitu berada di Pangkalan PSDKP Batam dengan kapasitas penampungannya mencapai 100 orang. Dalam kondisi pandemi Covid-19, sesuai dengan protokol pencegahan penularan dan penyebaran Covid-19 yaitu dengan mencegah berkumpulnya massa dan memberi jarak 1,5 – 2 Meter untuk setiap tempat tidur di RPS, tentu hal ini akan mereduksi kemampuan daya tampungnya, sehingga kapasitas penampungannya menjadi kurang dari 100 orang. Hal ini mengakibatkan pada bulan April 2020, RPS Pangkalan PSDKP Batam mengalami over capacity, tercatat ada 122 awak kapal yang ditampung, terdiri dari 102 orang WN Vietnam, 19 orang WN Myanmar dan 1 orang WN Rusia.

 

Merespon hal ini, Ditjen PSDKP telah melaksanakan pemulangan awak kapal bukan tersangka ke negara asalnya masing-masing dan menyerahkan awak kapal ke Ditjen Imigrasi, Rutan/Lapas, dan Kejaksaan. Berikut rekapitulasi data penanganan awak kapal sampai dengan 30 April 2020.

 

Tabel 3 Rekapitulasi Data Penanganan Awak Kapal TPP Tahun 2018-2020

Sumber : Direktorat Penanganan Pelanggaran Ditjen PSDKP, 9 Mei 2020

Data di atas dapat diterangkan bahwa, sejak tahun 2018 sampai dengan April 2020, awak kapal bukan tersangka yang telah dipulangkan dan diserahkan kepada Ditjen Imigrasi, Rutan/Lapas maupun Kejaksaan sejumlah 1.646 orang. Sedangkan, awak kapal yang sampai saat ini masih ditangani/berada tersebar di UPT PSDKP sejumlah 189 orang, yang terdiri dari tersangka sebanyak 31 orang dan bukan tersangka/non justitia sebanyak 158 orang.

 

Quo Vadis Penyidikan Tindak Pidana Perikanan di Masa Pandemi Covid-19

Fiat justitia rua caelum, artinya hendaklah keadilan ditegakkan walaupun langit akan runtuh. Ungkapan hukum dimaksud dapat ditafsirkan bahwa apapun kondisinya hukum harus tetap ditegakkan. Dengan kondisi pandemi Covid-19 dihubungkan dengan proses CJS yang panjang dan melibatkan banyak pihak, hal ini akan memperbesar peluang penyebaran virus Covid-19. Untuk itu perlu dipikirkan tawaran-tawaran so­lusi agar proses CJS yang pan­jang, tetap da­pat di­lakukan den­gan men­jamin ke­se­la­matan pi­hak-pi­hak yang terkait di dalam­nya serta dalam rangka memu­tus mata rantai penye­baran virus Covid-19 .

 

Salah satu proses dimaksud yaitu tahapan penyidikan, pada masa pendemi Covid-19 tentunya akan menghadapi berbagai tantangan, diidentikasi ada tiga hal yang menjadi permasalahan dalam proses penyidikan khususnya penyidikan tindak pidana perikanan, yaitu :

 

Permasalahan Pertama, pada saat proses penanganan awak kapal pelaku tindak pidana perikanan berdasarkan data Tabel 1 menunjukkan KIA dan awak kapal berkewarganegaraan asing mendominasi pelaku tindak pidana perikanan. Penanganan dimaksud disini berkaitan dengan pada saat penerimaan, penampungan, perawatan, pengamanan, dan pengeluaran awak kapal.

 

Permasalahan Kedua, pada saat proses pemeriksaan saksi dan tersangka awak kapal pelaku tindak pidana perikanan, dalam kondisi normal tentunya ada interaksi antara penyidik dengan saksi dan tersangka. Proses pemeriksaan saksi dan tersangka di tengah kondisi pandemi Covid-19 menjadi tantangan untuk penyidik. Hal ini yang menjadi dasar adanya opini penyidikan online yang disampaikan oleh Didik Farkhan, Kepala Pusat Data Statistik Kriminal dan Teknologi Informasi Kejaksaan Agung[4].

 

Permasalahan Ketiga, adanya penghentian sementara pengiriman tahanan dan pembatasan dalam hal pelimpahan barang bukti dan tersangka (penyerahan tahap II). Kebijakan ini dikeluarkan oleh Kemenkumham dan Jampidum yang tentunya akan mempengaruhi proses penyidikan.

 

Selain ketiga permasalahan di atas, adanya refocusing anggaran 2020 berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2020, yang memprioritaskan percepatan penanganan Covid-19, dimana dilakukan sejumlah pengurangan dan pemotongan di beberapa pos anggaran, termasuk juga anggaran penanganan tindak pidana perikanan, turut andil menjadi permasalahan yang harus dihadapi oleh Penyidik di masa pandemi Covid-19 ini.

 

Dengan tiga permasalahan teknis ditambah satu permasalahan klasik terkait anggaran ditengah kondisi pandemi Covid-19, tentunya akan menjadi pertanyaan “mau dibawa kemana penyidikan tindak pidana perikanan ?!”.

 

Seurut dari permasalahan dimaksud di atas, ditawarkan solusi-solusi sebagai berikut:

 

Pertama, permasalahan penanganan awak kapal pelaku tindak pidana perikanan dapat direspon dengan memberikan mitigasi dan edukasi yang komperhensif kepada PPNS Perikanan atau petugas RPS untuk menghadapi situasi pandemi Covid-19, untuk itu sebaiknya Ditjen PSDKP menerbitkan Surat Edaran terkait prosedur penanganan awak kapal dalam kondisi tertentu. Pada awal April, respon cepat ditunjukkan oleh Direktorat Penanganan Pelanggaran yang telah mengajukan rancangan prosedur penanganan awak kapal di masa pandemi Covid-19. Selain itu dalam penyusunan perubahan Perdirjen tentang Penanganan Awak Kapal telah dimasukkan prosedur penanganan awak kapal dalam kondisi tertentu.

 

Kedua, dijelaskan bahwa KUHAP secara implisit sudah “memberikan ruang” dilakukannya penyidikan online. Jadi, tidak hanya karena ada pandemi. Dalam Pasal 113 KUHAP mengatur “jika tersangka atau saksi yang dipanggil memberi alasan yang patut dan wajar tidak bisa datang, penyidik itu datang ke tempat kediaman tersangka/saksi”. Hal ini dimaknai dapat dimaknai bahwa KUHAP jelas membolehkan saksi/tersangka diperiksa di luar kantor penyidik. Bisa di kediaman saksi/tersangka atau bisa dimaknai tempat lain. Sehingga bila dihubungkan dengan pemeriksaan lewat telekonferensi, saksi/tersangka yang berada di tempat lain diperbolehkan.

 

Praktek pemeriksaan secara telekonfrensi dalam tahapan penyidikan telah dilakukan oleh PPNS Perikanan Pangkalan PSDKP Lampulo di masa pandemi Covid-19 terhadap dua tersangka yang berkewarganegaraan Myanmar dari dua KIA berkebangsaan Malaysia, praktek ini menggunakan jasa penerjemah yang berdomisili di provinsi yang berbeda, sehingga penyidik akhirnya melakukan telekonferensi agar hal tersebut tidak menghambat proses penyidikan yang berjalan. Untuk itu sebaiknya Ditjen PSDKP menerbitkan Surat Edaran terkait prosedur pelaksanaan proses penyidikan secara telekonfrensi.

 

Ketiga, kebijakan Kemenkumham terkait penghentian sementara pengiriman tahanan tidaklah terlalu berdampak dalam proses penyidikan tindak pidana perikanan, karena pelaku tindak pidana perikanan ditempatkan di RPS atau Tempat Penampungan Sementara misalnya di Kapal yang dalam pengawasan PPNS Perikanan. Selain itu mayoritas ancaman pidananya dibawah 5 tahun yang dihubungkan dengan ketentuan Pasal 21 ayat (4) KUHAP menyebutkan penahanan hanya dapat dilakukan terhadap pelaku tindak pidana dengan ancaman penjara 5 tahun atau lebih. Selain hal dimaksud permasalahan ini dapat diatasi dengan mengikuti ketentuan Pasal 22 KUHAP yang memberikan opsi tahanan rumah dan tahanan kota 

 

Dalam hal penyerahan tahap II, sesuai dengan kebijakan dari Kejaksaan bahwa penyerahan tahap II tetap dapat dilakukan apabila penyidik bersedia menerima penitipan kembali tersangka atau terdakwa. Selama ini, banyak kasus tindak pidana perikanan yang tersangka atau terdakwanya dititipkan kembali kepada PPNS Perikanan dan hal dimaksud dimungkinkan sesuai Juknis Penanganan Tindak Pidana Perikanan yang menjadi referensi PPNS Perikanan. Tetapi kebijakan dimaksud akan berdampak terhadap beberapa hal yaitu :

 

  • Keterbatasan jumlah RPS yang dimiliki oleh Ditjen PSDKP.

Untuk saat ini, tidak seluruh UPT PSDKP memiliki RPS. Sebagai contoh UPT PSDKP yang tidak memiliki RPS adalah Pangkalan PSDKP Jakarta dan Stasiun PSDKP Tarakan, dikhawatirkan apabila dititipkan kembali ke penyidik yang tidak mempunyai RPS, tersangka akan rawan melarikan diri.

 

  • Ketidakpastian waktu penitipan kembali tersangka kepada Penyidik.

Apabila tersangka/terdakwa tersebut dijatuhi pidana kurungan atau tahanan, maka pelaksanaan eksekusi pidananya akan menunggu berakhirnya masa pandemi Covid-19 berakhir, dan itu tidak dapat dipastikan waktunya. Selain itu, ada kekhawatiran ketika masa pandemi Covid-19 berakhir, maka antrian terpidana-terpidana lain untuk dilakukan eksekusi ke Rutan/Lapas akan menumpuk, sehingga pelaksanaan eksekusi tersangka/terdakwa/ terpidana yang dititipkan kembali tidak akan langsung dapat dilaksanakan.

 

  • Penanganan Barang Bukti TPP akan berlarut-larut.

Selain berdampak pada penanganan tersangkanya, dapat dimungkinkan berimbas pula pada penanganan barang buktinya. Sebagaimana kita ketahui, barang bukti dalam tindak pidana perikanan paling banyak berupa kapal perikanan yang penyimpanannya dilaksanakan di dermaga. Dan, hampir di kasus tindak pidana perikanan, barang bukti yang sudah diserahkan tanggung jawabnya ke Penuntut Umum (Penyerahan Tahap Kedua) akan dititipkan kembali ke penyidik.

 

  • Pengeluaran Biaya.

Dengan ketidakpastian waktu penitipan kembali tersangka kepada penyidik dan penanganan barang bukti yang beralarut-larut dapat berimplikasi terhadap pengeluaran anggaran.

 

Beberapa dampak yang diidentifikasi dari kebijakan pembatasan dalam hal pelimpahan tersangka dan barang bukti, merupakan sudut pandang sebagai PPNS Perikanan, untuk itu dibutuhkan sinergi antar aparat penegak hukum agar ada keselarasan dalam memutuskan berbagai kebijakan hukum untuk menyikapi kondisi pandemi Covid-19 dengan mempertimbangkan kepastian hukum setiap kasus tindak pidana.

 

Kesimpulan

Berdasarkan data yang disajikan, penanganan kasus tindak pidana perikanan oleh PPNS Perikanan di masa pendemi Covid-19 sebanyak 37 kasus yang menandakan adanya tren peningkatan kasus sebesar 428,5% dari dua bulan sebelumnya di tahun 2020 yang ada hanya 7 kasus. Hal ini sebagai bukti komitmen dan konsistensi Ditjen PSDKP dalam penegakan hukum tindak pidana perikanan, yang selaras dengan semangat Menteri Kelautan dan Perikanan untuk tidak mengendorkan pengawasan perikanan dalam kondisi apapun termasuk adanya pendemi Covid-19[5].

 

Sedangkan penanganan terhadap awak kapal di tahun 2020 sebanyak 249 orang, sebanyak 39 orang telah dipulangkan ke negara/daerah asalnya, 27 orang diserahkan ke Ditjen Imigrasi dan 9 orang diserahkan ke Kejaksaan/Rutan/Lapas. Total sampai dengan April 2020 yang masih ditangani/berada tersebar di UPT PSDKP sejumlah 189 orang, yang terdiri dari tersangka sebanyak 31 orang dan bukan tersangka/non justitia sebanyak 158 orang. Penanganan terhadap awak kapal dilaksanakan sesuai dengan protokol pencegahan penularan dan penyebaran Covid-19.

 

Berkaca pada situ­asi pandemi Covid-19, selayaknya kita pikirkan ke­mu­ngk­i­nan model penanganan tindak pi­dana perikanan dalam keadaan daru­rat, dengan menerbitkan beberapa Surat Edaran terkait penanganan awak kapal perikanan dan pelaksanaan proses penyidikan secara telekonfrensi agar ada keseragaman dalam pelaksannya yang kedepannya akan dituangkan dalam petunjuk teknis penanganan tindak pidana perikanan.

 

Untuk permasalahan penghentian sementara pengiriman tahanan dan pembatasan dalam hal pelimpahan barang bukti dan tersangka (penyerahan tahap II), diharapkan untuk segera melaksanakan pertemuan Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan yang beranggotakan unsur-unsur aparat penegak hukum agar dapat menawarkan solusi yang tepat di tengah kondisi pandemi serta menyepakati secara bersama-sama permasalahan dimaksud demi terwujudunya kepastian hukum yang berorientasi pada salus populi suprema lex esto. Selanjutnya, hasil dari pertemuan forum koordinasi dimaksud disampaikan kepada PPNS Perikanan, baik di UPT PSDKP maupun Dinas Kelautan dan Perikanan, sebagai pedoman serta dapat menambah kepercayaan diri dalam menangani perkara TPP di masa pandemic Covid-19.

   

Penelaah,

 

Sherief Maronie, SH. MH.                                       Rangga Dwi Wahyuputra, SH.

 

 

 

 

 

 

 

 Untuk download artikel, silahkan klik tautan dibawah:

Penanganan Tindak Pidana Perikanan di Masa Pendemi COVID-19

 

Sumber:

KKP WEB Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan Dan Perikanan

Logo Logo
Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan

JL. Medan Merdeka Timur No.16 Jakarta Pusat

Telp. (021) 3519070 EXT. 7433 – Fax. (021) 3864293

Email: humas.kkp@kkp.go.id

Call Center KKP: 141

Media Sosial

Pengunjung

1 2
© Copyright 2024, Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia