Indonesia   |   English  
Saran Dan Pengaduan

PERPUSTAKAAN
KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
Kilas Berita  
KKP Gaungkan Transformasi Budaya Maritim Berbasis Teknologi

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (KKP) menyelenggarakan Bedah Buku “Transformasi Budaya Maritim Berbasis Inovasi Teknologi” karya  Kepala BRSDM, Sjarief Widjaja, Rabu (3/7) di Perpustakaan KKP, Jakarta. Kegiatan yang dimoderatori Presenter TVRI, Happy Goeritno tersebut menghadirkan tiga orang pembahas yaitu Rektor Institut Perikanan Bogor (IPB), Arif Satria; Pemimpin Redaksi Majalah SWA, Kemal Gani; dan Pemimpin Redaksi Kompas.com, Wisnu Nugroho.

Tak kalah menarik, turut hadir Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti bersama sederet pejabat Eselon I KKP, di antaranya Sekretaris Jenderal KKP, Nilanto Perbowo; Inspektur Jenderal KKP, Muhammad Yusuf; Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, M. Zulficar Mochtar; dan Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, Brahmantya Satyamurti Poerwadi. Civitas akademika perguruan tinggi, lembaga riset, dan media hadir sebagai peserta.

Sebagai penulis, Sjarief Widjaja menceritakan faktor yang menjadi pendorong terbitnya buku ini. Menurutnya, Indonesia memiliki rekam jejak kemaritiman yang luar biasa di masa lalu dengan beragam potensi yang dapat dimanfaatkan secara optimal.

“Masyarakat Indonesia ini luar biasa. Kita punyat track record di masa lalu hebat sekali sejak jaman Majapahit, Syailendra, dan sebagainya sampai ke zaman-zaman berikutnya. Kita punya dominasi yang begitu hebat. Tapi akhir-akhir ini, kita melihat perhatian masyarakat terhadap maritim tidak begitu kuat. Terutama banyaknya pemberitaan yang menyampaikan bahwa nelayan itu identik dengan permukiman yang kumuh, yang tradisional, terbelakang, tidak berpendidikan, produk-produknya tidak bisa dipakai, tidak punya daya saing. Nah, hal-hal ini yang ingin kita balik paradigmanya. Kita punya lho sesuatu yang hebat dan kearifan lokal itu perlu kita bangkitkan,” papar Sjarief.

Sjarief menilai, cara yang paling cepat untuk membangkitkan kearifan lokal adalah dengan inovasi teknologi. “Inovasi teknologi tidak eksklusif milik penelitian, milik perguruan tinggi, milik orang-orang hebat, tetapi dia juga harus masuk ke desa-desa yang kita sebut sebagai desa inovasi,” lanjut Sjarief.

Namun Sjarief mengakui, inovasi teknologi saya tidak cukup untuk menciptakan sebuah transformasi budaya maritim. Dibutuhkan juga pendidikan untuk menumbuhkembangkan kepedulian dan membangun pola pikir masyarakat mengenai budaya maritim di seluruh lapisan masyarakat, mulai anak-anak, dewasa, hingga angkatan kerja. Hal ini untuk menciptkanan sumber daya manusia kelautan dan perikanan dengan pengetahuan dan pemahamaan maritim yang prima.

Tak hanya pendidikan, industri perikanan rakyat tak kalah penting. Paradigma masyarakat harus diubah bahwa mereka bukan lagi pemain tunggal, individual, atau rakyat kecil, melainkan bagian dari suatu lembaga usaha yang kuat dan sehat. Hal ini akan diwujudkan melalui sentra-sentra pertumbuhan ekonomi masyarakat yang berbasis maritim.

“Kita ingin timbul kesadaran, oh ternyata masyarakat kalau bergabung bisa menjadi kekuatan yang hebat yang berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi secara nasional maupun menyelesaikan persoalan-persoalan hidup mereka, livelihood mereka sehingga mereka bisa sejahtera,” tambah Sjarief.

Sementara itu, dari segi birokrasi, Sjarief berharap instansi dan lembaga pemerintahan mampu memiliki mindset kemaritiman, sehingga dapat menerbitkan regulatory framework yang berbasis maritime.

“Contohnya selama ini, kita berpikir hak atas tanah hanya berada di tanah kontinental. Padahal nelayan kita banyak yang tinggal di pesisir, rumahnya mengapung di laut. Apa haknya bagi mereka sudah menempati suatu bidang pesisir itu? Apakah ia bisa jadikan kolateral atau apa? Ini salah satu contoh. Demikian juga pengelolaan sampah limbah, bencana kebakaran, tsunami, dan pelayanan transportasi antarpulau. Kalau kita dorong ini ke pemangku kebijakan, mereka akan melihat ternyata untuk sektor maritim ini perlu penanganan khusus,” jelas Sjarief.

Sementara itu, Menteri Susi mendorong transformasi budaya maritim dengan masyarakat Indonesia meninggalkan pola-pola ekstraktif. “Masyarakat Indonesia terbudayakan untuk extracting sumber daya dengan cepat. Kita terbiasa melakukan cara-cara yang cepat dan mudah untuk menghasilkan uang tanpa usaha yang cukup. Kemalasan dan keseganan bangsa inilah yang harus direformasi,” tegasnya saat memberikan sambutan.

Menurutnya, dalam agrikultur maupun akuakultur, tidak dikenal istilah panen dini atau menjual benih sebagai cara yang tepat untuk menghasilkan uang.

Justru menurutnya, cara ekstraktif ini sudah mengancam keberlanjutan beberapa komoditas perikanan seperti rajungan, scallop, bawal putih, udang bonggol, dan udang jerbung di pantai utara Jawa. Termasuk dengan perburuan benih sidat (glass eels) di alam.

Menteri Susi menyebut, benih sidat tergolong pada plasmanutfah karena belum dapat dikembangkan secara artificial breeding, sehingga perdagangan dan eksploitasi berlebihan pada komoditas ini merupakan kejahatan besar. Ia menambahkan, di luar negeri bahkan kejahatan ini diganjar hukuman hingga 20 tahun penjara.

Ia menyayangkan banyaknya masyarakat yang tergoda berburu benih sidat dengan harga tinggi yang ditawarkan per kilogramnya. Padahal, satu kilogram benih sidat dapat terdiri dari ribuan ekor yang jika dibesarkan terebih dahulu nilai ekonominya jauh lebih tinggi.

Budaya ekstraktif ini juga ditunjukkan Indonesia dalam menghadapi perang dagang (trade war) antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Indonesia lebih senang mengimpor produk untuk dijual kembali daripada memproduksi sendiri di dalam negeri. Padahal Indonesia sudah dikenakan tariff import yang jauh lebih kecil dibandingkan negara-negara lainnya yang kena antidumping oleh Amerika Serikat.

Indonesia is the last, least, less benefiting of this trade war compared to Thailand, Vietnam, dan lain-lain. Dulu Indonesia memasukkan udang dari Cina ke Amerika dengan dokumen Indonesia. Bukannya bikin tambak malah mengakui barang Cina sebagai produknya. Marahlah Amerika hingga muncul embargo. Indonesia seharusnya bangkit. Segera bikin tambak besar-besaran. Sayangnya tidak terjadi,” ujar Menteri Susi.

Untuk itu, ia menginginkan adanya reformasi budaya maritim dengan meninggalkan budaya ektraktif menuju budaya produktif. (AFN)

Ibnu Fatkhan   03 Juli 2019   Dilihat : 3659



Artikel Terkait: