Sasi merupakan larangan pemanfaatan atau pengambilan sesuatu dari alam dalam jangka waktu yang ditetapkan baik di darat maupun di laut. Sasi diterapkan oleh masyarakat adat yang tinggal di hampir seluruh Pulau Papua untuk menjaga sumberdaya alam mereka secara tradisional. Salah satu kampung di Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat yang juga menerapkan sistem sasi adalah Kampung Malaumkarta yang terletak pada salah satu tanjung di pesisir utara Kabupaten Sorong. Pada tanjung ini terdapat beberapa kampung yaitu Kampung Malaumkarta, Kampung Mibi dan Kampung Suatolo. Suku yang mendiami kampung-kampung ini adalah Suku Moi.
Sasi bagi masyarakat Suku Moi di Kampung Malaumkarta disebut sebagai Egek yang merupakan suatu adat dan budaya yang dilakukan secara turun temurun oleh suku tersebut untuk menjaga sumberdaya alam wilayah mereka khususnya jenis-jenis ikan. Adapun jenis yang di Egek adalah Lobster, Lola, dan Teripang. Selain jenis-jenis ikan, alat tangkap juga masuk dalam Egek ini, seperti jaring, bom, potasium dan alat penangkapan ikan lainnya yang merusak lingkungan laut (destructive fishing).
Egek dilaksanakan secara rutin setiap tahunnya oleh masyarakat Kampung Malaumkarta untuk wilayah laut mereka. Egek dilaksanakan dengan dua sistem yaitu tutup Egek dan buka Egek. Tutup Egek dilaksanakan dalam jangka waktu satu tahun lamanya. Pada saat dilakukan tutup Egek, masyarakat setempat diperbolehkan menangkap ikan di wilayah Egek hanya dengan menggunakan nilon (longline) dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Setelah tutup Egek ini, buka Egek akan dilaksanakan. Setiap pelaksanaan tutup maupun buka Egek selalu dilaksanakan melalui upacara adat.
Tahun ini, buka Egek dilaksanakan pada tanggal 26 Maret 2018 di pantai Kampung Malaumkarta. Acara adat ini dihadiri oleh Loka PSPL Sorong, Lantamal XIV Sorong, Dinas Perhubungan Kabupaten Sorong, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sorong, Stasiun Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Sorong, SUPM Negeri Sorong, Kepala Distrik Makbon, Conservation International, WWF Indonesia, tokoh adat, dan masyarakat umum.
Acara prosesi adat buka Egek dimulai pukul 11.45 WIT yang dibuka oleh pemerintah Kabupaten Sorong yang dalam hal ini diwakili oleh Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Sorong. Selesai membuka acara secara resmi hujan pun sempat turun mengguyur lokasi acara sehingga masing-masing pengunjung yang hadir meninggalkan tempat duduk untuk mencari tempat berteduh. Kejadian ini sempat menghambat jalannya acara, tetapi tidak lama kemudian hujanpun reda dan acara dilanjutkan kembali tepat pukul 12.00 WIT.
Sebelum berlanjut ke prosesi adat buka sasi, pembawa acara yang merupakan salah satu tokoh pemuda Malaumkarta menjelaskan bahwa awalnya Egek dilaksanakan oleh masyarakat untuk menjaga sagu di sungai agar tetap lestari kemudian setelahnya dilakukan Egek di laut khusus untuk jenis Lobster saja. Seiring berjalannya waktu jenis Teripang dan Lolapun dimasukkan kedalam jenis yang di-Egek beserta alat tangkap seperti jaring, potassium, dan bom. Sejak tahun 1994, hasil Egek diserahkan ke gereja untuk pembangunan gereja dan pembangunan pastori (rumah pendeta). Selain itu semua hasil dari buka Egek diserahkan sepenuhnya ke pihak Gereja untuk dikelola.
Sejak tahun 2016 lalu, Loka PSPL Sorong mencoba mendampingi masyakat kampung ini untuk menginisiasi dibentuknya Kelompok Konservasi Penyu karena memang pantai malaukarta merupakan salah satu pantai peneluran penyu yang ada di Kabupaten Sorong. Pendampingan ini dilakukan oleh Loka PSPL Sorong dengan intensif. Banyak kegiatan yang telah dilakukan oleh Loka PSPL Sorong dalam rangka pendampingan ini, mulai dari melakukan sosialisasi tentang pelestarian penyu, melatih masyarakat untuk dapat mengelola kawasan peneluran penyu, hingga melatih masyarakat untuk membuat berbagai makanan alternatif dari hasil laut yang ada di Malaumkarta. Dengan terbukanya wawasan masyarakat malalui kegiatan tersebut akhirnya masyarakat Malaumkarta bersepakat untuk tidak lagi mengkonsumsi dan memanfaatkan penyu dan dugong yang ada. Bahkan kedua biota inipun saat ini masuk dalam jenis biota yang di-Egek.
Setelah berbagai penjelasan disampaikan, dilakukanlah ritual adat untuk buka Egek yang dilaksanakan oleh anak-anak adat dari perwakilan masing-masing marga (nama keluarga) yang ada di kampung ini. Marga-marga tersebut adalah Mubalen, Magablu, Malasamuk, Kalami, Sapisa, Su, Salamala, dan Do. Anak-anak adat ini memakai kain adat di leher dan berdiri menghadap ke semacam persembahan yang telah disiapkan yang terdiri dari janur, nasi kuning, nasi putih, pinang, kapur, dan sirih. Kemudian beberapa perempuan dari anak-anak adat menggantungkan kain adat di atasnya persembahan tersebut. Setelah selesai menggantungkan kain adat, persembahan kemudian dibawa menuju laut untuk dihanyutkan seiring doa kepada Yang Kuasa dalam bahasa Moi. Maksud dari ritual ini adalah agar pada saat masyarakat melakukan penangkapan dapat memperoleh hasil yang melimpah dan juga tidak mengalami gangguan atau hambatan hingga dilakukan tutup Egek nantinya. Pada bagian akhir, ketika semua ritual buka Egek dilaksanakan maka kemudian ditutup dengan doa yang dipimpin langsung oleh Pendeta Jemaat GKI Silo Malaumkarta.
Satu hal yang menarik dalam acara ini, tampak seorang pengunjung berwarga negara asing yang turut serta menyaksikan seluruh prosesi adat buka Egek ini. Melihat hal ini, pada penghujung acara pengunjung berwarga negara asing ini diberikan kesempatan untuk mengenalkan diri kepada seluruh pengunjung yang ada.
Elsa Alvear, begitu nama pengunjung asing itu memperkenalkan diri. Elsa sendiri merupakan staf U.S. Department of Interior yang kebetulan saat itu sedang bertugas di salah satu LSM yang berkantor di Kota Sorong. Karena merasa tersanjung diberikan kesempatan mengenalkan diri, pada akhir perkenalannya ia membagikan souvenir yang berasal dari instansi tempatnya bekerja.
Begitu seluruh rangkaian acara buka Egek dilaksanakan, para penduduk segera turun ke laut untuk memanen hasil Egek mereka selama setahun ini. Pada sore harinya, lobster yang merupakan hasil utama ditawarkan ke pengunjung yang hadir dengan harga Rp 650.000,00 hingga Rp 900.000,00 per kilogram lobster tergantung pada jenis lobsternya. Menurut pengakuan salah satu tokoh di Kampung Malaumkarta, dalam satu kali buka Egek, kampung ini dapat menghasilkan pendapatan hingga Rp 300.000.000,00. Suatu hasil yang cukup luar biasa, berkat jerih payah pengelolaan sumberdaya yang baik melalui sistem Egek. [Ast/FNH]
lpsplsorong 27 Maret 2018 Dilihat : 2972