Indonesia   |   English  
Saran Dan Pengaduan

LOKA PENGELOLAAN SD PESISIR & LAUT SORONG
DIREKTORAT JENDERAL PENGELOLAAN RUANG LAUT
Kilas Berita  
Kembali Muncul Living Fossil Coelacanth, Raja Laut Raja Ampat

aaaa

 

Setelah publikasi penemuaan Ikan Coelacanth (Latimeria Sp.) kedelapan di Indonesia (diangkat ke darat) yang diperoleh secara tidak sengaja dengan alat pacing oleh anggota klub mancing mania Sorong pada tanggal 1 Juli 2018 di Kabupaten Raja Ampat, kembali Loka Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Sorong menemukan Ikan Coelacanth (Latimeria Sp.) ke sembilan, yang terpancing oleh nelayan dari kelurahan Pulau Ram Distrik Sorong Kepulauan. Bapak Yulius Faidiban dan Bapak Yopi Mamoribo, yang tidak sengaja menangkap ikan purba tersebut. Beliau tidak pernah menyangka kegiatan melaut yang dilakukan pada Sabtu, 15 Juni 2019 di perairan Urbinasopen dengan kedalaman ± 60 depa, akan mendapatkan hasil diluar dugaan. Ikan yang terpancing pada pukul 08.00 WIT langsung didaratkan dalam kurun waktu kurang lebih dua jam. Pendaratan ikan purba ini dilakukan ke daerah Suprau, Distrik Maladum Mes, dalam keadaan hidup. Berita terpancingnya ikan Coelacanth mulai menyebar, berawal dari banyaknya masyarakat yang mendokumentasikan ikan tersebut, karena sebelumnya tidak pernah ada nelayan yang mendapatkan ikan purba ini. Saat didaratkan di Suprau, belum ada yang mengetahui jenis ikan tersebut.

 

Koordinasi penentuan jenis ikan ini dimulai dari Ibu Paulina Iwanggin yang mendapatkan informasi dari Bapak Roy dan melanjutkan mengirim foto tersebut ke grup Whatsapp UKiP pada pukul 12.42 WIT untuk menanyakan adakah yang mengetahui jenis ikan ini. Dalam waktu kurang dari 30 menit, Bapak Roger Tabalessy menemukan spesies ikan purba yang terpancing biasa disebut Raja Laut atau Coelacanth. Informasi ini langsung diteruskan dan masuk ke Loka PSPL Sorong pukul 13.10 WIT. Laporan ikan purba ini direspon cepat oleh Bapak Santoso selaku Kepala Loka PSPL Sorong, dibantu oleh Bapak Roger, untuk konfirmasi kebenaran berita yang beredar. Validasi informasi dilakukan oleh Kepala Loka PSPL Sorong, dengan segera menuju lokasi bersama tim reaksi cepat penanganan mamalia laut dan jenis ikan dilindungi, untuk mengamankan ikan tersebut. Akan tetapi, sesampainya di lokasi pada pukul 14.00 WIT, ikan tersebut sudah dipindahkan oleh Bapak Yulius. Kemudian tim dibantu oleh masyarakat sekitar, Ibu Dorce Morino mengantarkan Tim Loka PSPL Sorong mencari keberadaan Ikan tersebut.

 

Tim Loka PSPL Sorong akhirnya berhasil menemui Bapak Yulius di kediaman Saudara Bapak Yulius di Sorong, yang ternyata ikan Coelacanth tersebut sudah dititipkan di Pasar Boswesen. Menurut Yulius, rencananya ikan purba tersebut akan dijual ataupun dikonsumsi sendiri, namun sesuai peraturan yang berlaku untuk ikan Raja Laut, ikan yang tertangkap harus diserahkan pada pemerintah. Tim kemudian bergerak ke Pasar Boswesen untuk mengamankan ikan dan melakukan pendataan morfometri ikan purba ini. Hasil pengukuran morfometri tersaji sebagai berikut:

 

Panjang total ikan : 98 cm
Berat ikan : 12,48 kg
Lingkar tubuh : 57 cm
Panjang kepala : 22 cm
Panjang sirip dada : 22 cm
Panjang sirip punggung bagian depan : 13 cm
Panjang sirip punggung bagian belakang : 15 cm
Panjang sirip perut bagian depan : 14 cm
Panjang sirip perut bagian belakang : 15 cm

Nama coelacanth berasal dari kata-kata Yunani coelia (berongga) dan acanthos (duri), yang berarti ikan dengan duri berongga. Ikan coelacanth tergolong ke dalam ordo Coelacanthiformes. Berdasarkan fosilnya, pertama kali muncul di bumi pada zaman Devonian (sekitar 400 juta tahun lalu). 200 juta tahun lebih purba dari usia dinosaurus yang baru muncul di muka bumi pada zaman Triasic. Ikan ini memiliki keunikan yang tidak dimiliki oleh jenis-jenis lainnya seperti adanya tujuh sirip yang tebal dan berotot (memiliki daging) dengan sirip tambahan pada sirip ekornya, Dengan adanya sirip-sirip berlobi daging yang menyerupai tonjolan tangan dan kaki, ikan coelacanth diasumsikan berkerabat lebih dekat ke ikan paru-paru, mamalia dan reptil (hewan berkaki empat /tetrapoda) daripada dengan kelompok ikan bersirip kipas.

 

Karena kelangkaannya, Coelacanth, yang di Indonesia dikenal dengan nama latin Latimeria Menadoensis atau dalam bahasa lokal Ikan raja laut dimasukkan dalam daftar merah (red list) IUCN dengan status vulnerable (VU) atau rentan, artinya spesies menghadapi risiko tinggi kepunahan di masa depan. Berdasarkan aturan CITES, Coelacanth dimasukkan dalam daftar apendiks I, yaitu daftar yang memuat jenis-jenis yang telah terancam punah (endangered), sehingga perdagangan internasional spesimen yang berasal dari habitat alam harus dikontrol dengan ketat dan hanya diperkenankan untuk kepentingan non-komersial tertentu dengan izin khusus. Di Indonesia sendiri, secara nasional ikan raja laut ditetapkan statusnya sebagai biota dilindungi melalui PP No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa yang lampirannya terakhir dirubah melalui peraturan menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 106 tahun 2018 yang merupakan perubahan kedua tentang jenis tumbuhan dan satwa dilindungi.

 

Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Peraturan Menteri Kelautan Nomor 61 Tahun 2018 juga mengatur pemanfaatan dan peredaran jenis ikan yang dilindungi dan/atau jenis ikan yang tercantum dalam Appendiks Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And Flora (CITES) yang didalamnya termasuk Coelacanth ini sehingga pemanfaatan dan peredarannya dilaksanakan sesuai dengan Permen 61 tahun 2018 tersebut.

 

Sebelumnya, Coelacanth kedelapan yang ditemukan pada tahun 2018, telah dilakukan uji DNA oleh tim dari Politeknik Kelautan dan Perikanan Sorong dengan hasil bahwa Coelacanth kedelapan di Raja Ampat sementara ini secara ilmiah disebut memiliki jenis yang sama dengan Coelacanth di Manado (Latimeria Menadoensis) hanya memiliki populasi yang berbeda. Menurut Tim Politeknik Kelautan dan Perikanan Sorong yang dipimpin Bapak Kadarusman, Ph.D untuk membuktikan bahwa populasi Raja Ampat adalah spesies baru, dibutuhkan minimal one complete spesimen (spesimen utuh secara morfologi), agar ahli taksonomi dapat menganalisis lebih dari 30 karakter morfomeristik (counts and measurements) yang selanjutnya akan dibandingkan dengan holotype-paratype Sulawesi (L. menadoensis) yang depositkan di Mueum Zoologicum Bogoriense (MZB LIPI Indonesia) dan holotypeparatype Afrika (L. chalumnae) dideposit di beberapa Museum di Afrika dan Inggris Raya.

lpsplsorong   16 Juni 2019   Dilihat : 3774



Artikel Terkait: