Hiu memiliki karakter biologis yang spesifik seperti berumur panjang, fekunditas rendah, jumlah anakan sedikit, lambat dalam mencapai matang kelamin dan pertumbuhannya lambat, sehingga sekali terjadi over eksploitasi, sangat sulit bagi populasinya untuk kembali pulih. Kebanyakan hiu adalah termasuk hewan predator pada lingkungan terumbu karang dan lautan, mereka berada pada tingkat atas dari rantai makanan yang menentukan keseimbangan dan mengontrol jaring-jaring makanan yang komplek di bawah mereka. AWI (2009) menerangkan bahwa sebagai predator tingkat atas, hiu juga berperan sebagai penjaga lingkungan laut mereka.
Namun demikian, dari 117 jenis hiu yang terdapat di Indonesia, hanya 1 jenis yang sudah berstatus dilindungi penuh, yaitu hiu paus (Rhyncodon typus). Empat jenis hiu lainnya, yaitu hiu koboy (Carcharhinus longimanus) dan 3 jenis hiu martil (Spyhrna leweni, Sphyrna zygaena, dan Sphyrna mokarran) termasuk yang dilarang ekspor melalui Permen KP No. 5 Tahun 2018. Sedangkan ada 8 jenis hiu yang masuk CITES (Konvensi Internasional Perdagangan Satwa Liar), yang artinya pemanfaatan untuk perdagangan luar negerinya diperbolehkan, namun dengan aturan ketat.
Dalam rangka pengelolaan hiu yang berkelanjutan, KKP telah menyusun Rencana Aksi Nasional (RAN) Konservasi Hiu dan Pari 2016-2020. KKP juga sedang menyusun rancangan perlindungan terbatas hiu, berupa larangan penangkapan hiu hamil, hiu anakan, dan hiu di kawasan konservasi.
Penetapan status perlindungan ikan hiu tentunya harus dilakukan secara bijaksana dan berdasarkan prinsip kehati – hatian, karena menyangkut sosial dan ekonomi sebagian masyarakat, khususnya masyarakat nelayan yang menjadikan ikan hiu sebagai tangkapan utama (Tanjung Luar-NTB) dan konsumsi lokal (Aceh, Toraja) karena murah dagingnya. Kehati – hatian itu berarti kekayaan alam Indonesia seperti ikan hiu dan pari boleh kita manfaatkan secara optimal untuk kesejahtraan masyarakatnya, namun dengan tetap menjaga kelestariannya sehingga ikan hiu itu dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.
Selain itu, ketersediaan data biologi dan perikanan hiu masih terbatas, baru untuk beberapa spesies. Untuk menetapkan status perlindungan harus didukung dengan data dan informasi yang akurat, serta harus mendapat rekomendasi ilmiah dari LIPI selaku otoritas keilmuan.