Dalam budaya masyarakat nelayan, sumber daya laut merupakan sumber daya yang bersifat open access sehingga dapat dimanfaatkan oleh semua pihak. Sumber daya dengan sifat open access memiliki kecenderungan untuk dimanfaatkan secara berlebihan sehingga dapat menimbulkan malapetaka seperti yang disampaikan oleh Garret Hardin pada 1982 mengenai teori Tragedy of the common. Pengelolaan sumber daya secara adat seperti yang dilakukan oleh Suku Kawe di Kabupaten Raja Ampat dianggap dapat mengelola sumber daya laut di wilayah hak ulayat adatnya, namun pengelolaan secara adat belum dapat secara maksimal mencegah pemanfaatan berlebih yang dilakukan oleh pihak luar (masyarakat umum). Integrasi kearifan lokal dalam peraturan Nasional diharapkan dapat mengelola sumber daya laut di Kabupaten Raja Ampat secara lebih baik.
Kearifan Lokal “Sasi” Masyarakat Suku Kawe
Suku Kawe mengenal kearifan lokal yang disebut dengan nama “sasi”. Sasi dapat diartikan sebagai larangan untuk mengambil sumber daya tertentu pada waktu tertentu sebagai upaya pengelolaan sumber daya berkelanjutan. Aturan mengenai sasi tidak tertulis tetapi dipatuhi oleh semua masyarakat. Pelanggaran akan kearifan lokal dipercaya akan memberikan sanksi supranatural seperti penyakit atau kematian. Hukuman lain seperti teguran, denda uang, penyitaan alat tangkap dan pengasingan dari Kampung merupakan aturan dan sanksi bagi orang yang melanggar kearifan lokal sasi. Sejauh ini aturan dan sanksi pelanggaran sasi masih sangat efektif dalam mencegah pelanggaran di Raja Ampat (Handayani 2008 dalam Boli et al 2014).
Suku Kawe memberlakukan sasi laut pertama kali di Kepulauan Wayag untuk jenis sumber daya ikan, lola, lobster dan teripang pada tahun 2007 dengan bantuan inisiasi dari Conservation International Indonesia. Periode buka sasi pertama dilakukan pada Tahun 2012 selama jangka waktu 1 bulan. Selama periode buka sasi, hanya masyarakat Suku Kawe dari Kampung Salpele dan Salio yang berhak melakukan penangkapan ikan. Pendapatan pada minggu pertama periode buka sasi biasanya akan diserahkan kepada pihak Gereja di Kampung atau untuk pembangunan sarana prasarana yang dibutuhkan oleh Kampung. Setelah minggu pertama maka masyarakat berhak memanfaatkan hasil tangkapan untuk dijual kepada kapal penampung ikan.
Sejak tutup sasi di Kepulauan Wayag pada Tahun 2007 sampai tahun 2020 Suku Kawe tercatat sudah melakukan beberapa kali periode buka-tutup sasi seperti yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel periode buka tutup Sasi di Kepulauan Wayag
Hasil penelitian Radiman (2020) menunjukkan responden masyarakat lokal di Kampung Salpele dan Salio menyadari bahwa sasi laut memberikan kesempatan kepada sumber daya laut untuk memulihkan diri dari kegiatan eksploitatif. Selama periode tutup sasi, sumber daya laut memiliki kesempatan untuk kembali pada kondisi optimalnya sehingga dapat menjamin keberlanjutan sumber daya alam. Beberapa orang mungkin berfikir sasi laut akan membatasi atau mengurangi pendapatan dari kegiatan penangkapan, tetapi mayoritas dari masyarakat kampung menegaskan bahwa tradisi sasi tidak mengurangi daerah penangkapan mereka dan tidak membatasi kegiatan penangkapan ikan.
Integrasi Kearifan Lokal dalam Peraturan Nasional
Pengelolaan sumber daya melalui kearifan lokal seperti sasi mungkin sangat efektif bagi masyarakat adat yang memiliki hak petuanan tersebut. Namun dalam sumber daya laut yang bersifat open access, pihak luar seperti masyarakat dari daerah lain dapat melakukan penangkapan di lokasi sasi tanpa melanggar peraturan daerah atau nasional. Hal ini yang terjadi di Pulau Sayang dan Kepulauan Wayag, meskipun telah ada sasi laut tapi beberapa kali masih dilaporkan terjadi penangkapan ikan di lokasi sasi yang dilakukan oleh kapal nelayan luar Raja Ampat.
Pada tahun 2009 Kementerian Kelautan dan Perikanan menetapkan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Suaka Alam Perairan (KKPN SAP) Kepulauan Waigeo sebelah Barat melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.65/MEN/2009. Kawasan seluas 271.630 Hektar ini mencakup Pulau Piay, Pulau Sayang, Kepulauan Wayag, Pulau Bag dan Pulau Qin. Kesemua Pulau tersebut termasuk kedalam hak ulayat adat dari Suku Kawe. Kawasan Konservasi Perairan merupakan kawasan perairan yang dilindungi dan dikelola dengan sistem zonasi untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungan secara berkelanjutan.
Setelah Penetapan KKPN SAP Waigeo sebelah Barat, maka dilakukan sosialisasi dan penyusunan rencana zonasi kawasan. Integrasi kearifan lokal sasi dalam Peraturan Nasional dilakukan dengan memasukkan “zona sasi” dalam Peraturan Rencana Zonasi dan Pengelolaan (RPZ) KKPN SAP Waigeo sebelah Barat melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 60/KEPMEN-KP/2014. Peta Zonasi KKPN SAP Waigeo sebelah Barat dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah ini.
Gambar 1. Peta Zonasi KKPN SAP Waigeo sebelah Barat
Pada Gambar 1 diatas dapat dilihat terdapat 3 zona dalam KKPN SAP Waigeo sebelah Barat yaitu Zona Inti (merah), Zona Pemanfaatan (hijau) dan Zona Sasi (pink). Zona Inti merupakan daerah perlindungan dengan pemanfaatan hanya untuk kegiatan penelitian sedangkan Zona Pemanfaatan merupakan zona yang diperuntukkan untuk kegiatan wisata tanpa ada ekstraksi sumberdaya.
Zona Sasi dalam KKPN SAP Waigeo sebelah Barat merupakan zona tangkap ikan yang diperuntukkan khusus bagi nelayan tradisional Suku Kawe yang menangkap ikan menggunakan alat tangkap tradisional skala kecil. Penangkapan ikan dalam Zona Sasi menggunakan sistem buka tutup yang pengelolaannya dilakukan oleh masyarakat Suku Kawe dengan supervisi dari Balai KKPN Kupang selaku unit pengelola kawasan dibawah Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Dampak Integrasi Kearifan Lokal Zona Sasi di KKPN
Penetapan Zona Sasi dalam RPZ KKPN SAP Waigeo sebelah Barat memberikan legalisasi bagi para penegak hukum apabila terdapat pelanggaran ekstraksi sumber daya di dalam KKPN SAP Waigeo sebelah Barat baik oleh masyarakat dari dalam ataupun luar Raja Ampat. Penetapan zona sasi memungkinkan adanya penegakan hukum secara Nasional terhadap masyarakat luar Raja Ampat yang tidak terikat pada kearifan lokal Suku Kawe. Selain menjamin hak ulayat dari Suku Kawe terhadap sumber daya laut di wilayahnya, penetapan zona sasi juga mendukung upaya negara dalam mengelola sumber daya kelautan secara berkelanjutan.
Sebagai contoh pada tahun 2012 terdapat pelanggaran kapal penangkap hiu di KKPN SAP Waigeo sebelah Barat yang dilakukan nelayan dari Buton, Halmahera dan Sorong. Nelayan tersebut tidak mengenal dan tidak mematuhi aturan sasi yang dibuat oleh Suku Kawe, namun dengan adanya perlindungan Nasional terhadap KKPN SAP Waigeo sebelah Barat maka aparat penegak hukum dapat melakukan penangkapan dan menerapkan hukum nasional kepada pelanggar tersebut.
Contoh lain adalah pada periode tahun 2017-2020, masyarakat Suku Kawe tidak melakukan tutup sasi sehingga penangkapan ikan dilakukan dengan bebas tanpa ada pengaturan jenis dan lokasi. Tidak adanya aturan dalam penangkapan ikan akan mengancam keberlanjutan sumber daya di Kepulauan Wayag dan Sayang. Sebagai salah satu bentuk pengelolaan dengan dasar hukum Rencana Pengelolaan Zonasi maka Balai KKPN Kupang bekerjasama dengan CI Indonesia dan Dewan Adat Suku Maya melakukan pendekatan kepada masyarakat Suku Kawe di Kampung Salpele dan Salio agar kembali melakukan penutupan sasi di Kepulauan Wayag. Gambar 2 menunjukkan Upacara penutupan sasi yang berhasil dilakukan pada tanggal 3 November 2020 terhadap sumber daya teripang, lola, lobster, kima dan penyu.
Gambar 2. Upacara tutup sasi tanggal 3 November 2020 (kkp.go.id)
Integrasi kearifan lokal sasi dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan merupakan salah satu contoh co-management pengelolaan sumber daya antara masyarakat dengan pemerintah. Masyarakat dapat menjaga dan memberlakukan aturan adat secara lokal sedangkan untuk pengelolaan dan perlindungan secara Nasional dilakukan oleh pemerintah. Pendampingan juga dilakukan oleh pemerintah apabila terdapat penyimpangan dalam pengelolaan sumber daya oleh masyarakat. Dengan adanya saling kesepahaman mengenai tujuan bersama yaitu keberlanjutan sumber daya, maka masyarakat mudah menerima saran/masukan dari pemerintah mengenai pengelolaan sumber daya alam di wilayahnya.
Penulis : Indri Widhiastuti
DAFTAR PUSTAKA
Boli, P. Yulianda, F. Damar, A. Soedharma, D dan Kinseng, R. 2014. Benefit of Sasi for Conservation of Marine Resources in Raja Ampat, Papua. Jurnal Manajemen Hutan Tropika XX (2) : 131-139.
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor KEP.65/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Waigeo sebelah Barat dan Laut di Sekitarnya di Provinsi Papua Barat.
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 60/KEPMEN-KP/2014 tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Suaka Alam Perairan Kepulauan Waigeo sebelah Barat dan Laut Sekitarnya di provinsi Papua Barat Tahun 2014 – 2034.
Kkp.go.id. Tutup Sasi Lola, Lobster, Teripang, Ikan dan Penyu serta Peluncuran Peraturan Adat Perlindungan Ekosistem dan Biota yang ada didalamnya di Pulau Wayag dan Pulau-Pulau Sekitarnya. https://kkp.go.id/djprl/bkkpnkupang/artikel/25259-tutup-sasi-lola-lobster-teripang-ikan-dan-penyu-serta-peluncuran-peraturan-adat-perlindungan-ekosistem-dan-biota-yang-ada-didalamnya-di-pulau-wayag-dan-pulau-pulau-sekitarnya. [diakses 29 November 2020].
Radiman, T.H.U. 2020. Local Community Perspectives Toward the Integration of Traditional Customary Fisheries (Sasi Laut) into the Management Plan and Zoning System of the National Marine Protected Area (NMPA) West Waigeo Island, Indonesia. [Thesis]. Adelaide : The University of Adelaide.
Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kupang 18 Januari 2021 Dilihat : 4788