Penangkapan Ikan Terukur yang Berkeadilan

Rabu, 25 Mei 2022 | 00:00:00 WIB


INFO NASIONAL - Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas KAJISKAN, 2022) telah merevisi potensi lestari perikanan tangkap dari 12,54 juta ton (2017) menjadi 12,01 juta ton, sesuai Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 19 Tahun 2022, dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 82 persen.

 

Prakiraan potensi ikan tertangkap pada tahun 2022 mencapai 1,5 juta ton dengan nilai PNBP sebesar 3,875 triliyun rupiah, sedangkan tahun 2024 potensi ikan tertangkap mencapai 5 juta ton, dengan nilai PNBP sebesar 14,554 triliyun rupiah.

 

Melihat peluang tersebut disertai perhitungan pemanfaatan sumber daya ikan (SDI) tetap berkelanjutan, pemerintah menggagas kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota, yang mana komponen yang membentuk dan merangkai End-to-end bisnis proses perikanan tangkap, terkuantifikasi/terukur secara akurat (Indra Jaya, 2022). Untuk itu dibutuhkan akurasi estimasi potensi, pengalokasian jumlah tangkapan yang diperbolehkan, dan kuota penangkapan ikan.

 

Penguatan regulasi seperti peraturan pemerintah, permen, dan prosedur pelaksanaan sangat dibutuhkan agar SDI dapat dinikmati nelayan beserta stakeholder. Saat ini, pemerintah berkonsultasi/berkoordinasi dengan setkab, kemenkeu, pemerintah provinsi/kab/kota, perguruan tinggi, DPR, BPK, LSM/NGO dan masyarakat nelayan untuk menuntaskan kebijakan tersebut.

 

Melindungi Nelayan Lokal

 

Kebijakan penangkapan ikan terukur merupakan reformasi pengelolaan perikanan berbasis output control (kuota per kapal), dengan pembagian: kuota untuk nelayan lokal, kuota bukan untuk tujuan komersial (diantaranya diklat, litbang, kesenangan dan wisata), serta kuota untuk industri.

 

Upaya ini dilakukan untuk melindungi nelayan lokal di seluruh Indonesia yang memiliki KTP setempat pada zona penangkapan ikan terukur. Agar nelayan lokal memiliki daya tawar lebih kompetitif untuk mengakses kuota penangkapan ikan, hendaknya bergabung dalam koperasi.  Bagi nelayan lokal yang memiliki ketrampilan individu dari diklat Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP), dapat menjadi anak buah kapal (ABK) pada industri.

 

Keberpihakan terhadap ekologi dan keberlanjutan SDI direspon pemerintah dengan mengalokasikan kawasan penangkapan ikan terbatas (spawning/nursery ground) di WPP 714 perairan teluk tolo dan laut banda seluas 65,6 juta hektar, sebagai tempat ikan kawin, berkembang biak dan tumbuh dewasa. Selanjutnya, 28,4 juta hektar kawasan konservasi dapat dipertimbangkan sebagai spawning/nursery ground.

 

Bagi investor/industri, diijinkan membawa kapal buatan luar negeri berbendera Indonesia, yang seluruh awak kapalnya harus nelayan lokal kecuali Fishing Master, serta wajib mendaratkan dan memproses hasil tangkapannya di zona penangkapan yang telah ditetapkan. Investor diijinkan membangun, merevitalisasi dan memperlengkapi pelabuhan perikanan (TPI, timbangan, kapal loading/unloding) sesuai persyaratan KKP.

 

Apabila pemanfaatan SDI secara ekonomi hanya 50 persen dari potensi lestari (12 juta ton/tahun), maka produksi tangkapan mencapai 6 juta ton/tahun, dengan pengaturan kuota untuk nelayan lokal sebesar 20 persen (tidak dipungut PNBP), kuota untuk kesenangan, wisata, diklat dan litbang sebesar 10 persen, potensi spawning/nursery ground mencapai 10 persen. Sisanya 60 persen merupakan kuota untuk industri yang dikenakan PNBP (3,6 juta ton). Setelah melakukan evaluasi menyeluruh, kuota dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan dapat disesuaikan.

 

Pungutan PNBP saat ini dilakukan di awal sebelum operasi penangkapan (sistem pra produksi), yang bergantung pada angka perkiraan (pendugaan stok ikan), sehingga membutuhkan data dasar runtut waktu (Purwito Mangkusubroto, 2022).

 

Berbeda dengan penangkapan ikan terukur, dimana PNBP dibayarkan setelah ikan hasil tangkapan didaratkan di pelabuhan sesuai pembagian WPP. Harga ikan dihitung berdasarkan harga lelang, harga rata-rata, atau harga yang ditetapkan kepala pelabuhan.

 

Besaran PNBP yang disetor kepada pemerintah pusat berdasarkan PP 85 Tahun 2021 Tentang Jenis dan Tarif PNBP yang Berlaku di KKP, akan dilakukan bagi hasil kepada pemerintah provinsi/kabupaten/kota sebagai perwujudan keadilan, termasuk bagi daerah asal yang menerbitkan izin kapal, sesuai peraturan yang berlaku.

 

Keberhasilan kebijakan penangkapan ikan terukur sangat ditentukan oleh kesiapan sistem informasi teknologi dan transformasi digital melalui satelit, yang merekam dan melaporkan aktivitas penangkapan ikan secara real time dan continue disertai pengawasan dan penegakan hukum, sehinga mencegah kesalahan maupun manipulasi pendataan oleh para pemburu rente (rent seeker).

 

Apabila penangkapan ikan terukur berjalan sistemik, dan produksi ikan yang didaratkan cenderung meningkat, maka dibutuhkan tenaga kerja mencapai 1,5 juta orang, serta industri perikanan (galangan kapal, cold storage, air bersih/BBM/listrik). Selanjutnya, sistem logistik (SLIN) akan terkoneksi ke daerah-daerah bahkan mancanegara, yang mendorong tumbuhnya jasa-jasa pelayanan berkualitas dan responsif.

 

Kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota memastikan SDI tetap produktif dan berkelanjutan, sekaligus mengurangi tekanan terhadap ekologi maupun ekosistem laut. Keuntungan ekonomi pelaku usaha akan meningkatkan penerimaan negara, serta mendorong kesejahteraan dan kehidupan sosial masyarakat nelayan menjadi lebih baik. (*)

 

(Rido Miduk Sugandi BatubaraAhli Madya Pengelola Ekosistem Laut dan Pesisir (PELP), Ditjen Pengelolaan Ruang Laut, Kementrian Kelautan dan Perikanan).

Sumber:

KKP WEB Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan Dan Ruang Laut

Logo Logo
Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut
Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Gedung Mina Bahari III Lt. 11, Jl. Medan Merdeka Timur No. 16 Jakarta Pusat DKI Jakarta email : humas.prl@kkp.go.id

Media Sosial

PENGUNJUNG

143659

© Copyright 2024, Kementerian Kelautan dan Perikanan RI