Indonesia   |   English  
Saran Dan Pengaduan

DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA
×

KKP

Kilas Berita  

FAQ


FAQ Pembangunan Perikanan Budidaya

 1.

Q :

Bagaimana kinerja perikanan budidaya Semester I tahun 2019 ?

 

A :

Kinerja perikanan budidaya hingga semester I tahun 2019 menunjukkan hasil yang positif, hal ini dapat dilihat dari :

  • Nilai Tukar Pembudidaya Ikan (NTPi) bulan Juni 2019 tumbuh 1.75 % dibandingkan bulan yang sama tahun 2018, yaitu dari 100,19 menjadi 101,94 artinya daya beli pembudidaya ikan semakin meningkat;
  • Sedangkan nilai tukar usaha pembudidaya ikan (NTUPi) Bulan Juni 2019 juga tumbuh 1.83 % dibandingkan bulan yang sama tahun 2018, yaitu dari 1154  menjadi 114.60 artinya prospek usaha perikanan budidaya semakin membaik dan efisien;
  • Selain itu, secara nasional pendapatan pembudidaya ikan juga mengalami kenaikan yakni Rp. 3,03 juta per bulan pada tahun 2017 menjadi Rp. 3,39 juta per bulan di tahun 2018 atau naik 8,9 persen. Dan jauh lebih besar dibandingkan dengan UMR Nasional sebesar Rp. 2,26 Juta/bulan/orang.
  • Produksi Perikanan budidaya TW II 2019 sebesar 23 juta ton, sedangkan produksi ikan hias TW II 2019 sebesar 701 juta ekor.

 

 

 

2.

Q :

Bagaimana cara mengakses bantuan-bantuan kegiatan strategis pemerintah tersebut ?

 

A :

KKP mempermudah akses pengajuan dan penyaluran bantuan sarana dan prasarana budidaya ikan. Pembudidaya ikan yang bermaksud mengajukan bantuan dapat langsung meng-upload proposalnya ke laman satudata.kkp.go.id. sedangkan persyaratan atau petunjuk teknisnya (Juknis) dapat diunduh di laman https://kkp.go.id/djpb. Mekanisme online ini diharapkan dapat meningkatkan keterbukaan publik serta hemat waktu dan biaya sebagaimana yang sedang digencarkan oleh KKP. Selain melalui laman, penyampaian proposal bantuan masih dapat ditujukan langsung kepada DJPB bagi calon penerima yang memiliki keterbatasan dalam mengakses laman tersebut. Setelah proposal diterima, selanjutnya tim verifikasi yang berasal dari direktorat teknis maupun Unit Pelaksana Teknis (UPT) di lingkungan DJPB akan melakukan verifikasi terhadap calon penerima bantuan baik secara administratif maupun teknis.

 

Proses verifikasi ini bertujuan untuk menilai kelayakan dan kesesuaian administratif dan teknis terhadap proposal yang diajukan. Selanjutnya hasil verifikasi tersebut disampaikan kembali melalui laman satudata.kkp.go.id. dan juga kepada calon penerima bantuan. Bagi calon penerima bantuan yang dinyatakan layak dan lolos seleksi selanjutnya akan di-SK-kan oleh Dirjen Perikanan Budidaya sebagai penerima bantuan. Sedangkan pengadaan bantuan yang akan diserahkan kepada penerima dilakukan melalui proses pengadaan barang dan jasa (PBJ) yang juga dilakukan secara terbuka sesuai mekanisme dan aturan yang sudah ditetapkan dalam perpres Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Sehingga saat ini seluruhnya melalui proses terbuka dan berbasis online, mulai dari pengajuannya, hasil seleksinya hingga proses PBJnya dilakukan secara terbuka. Siapapun dapat melihat, ikut memantau dan memberikan masukan-masukan.

 

Bagi pembudidaya ikan atau kelompok pembudidaya ikan yang berminat untuk mengajukan permohonan bantuan budidaya, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi diantaranya: pertama, tergabung dalam suatu kelompok yang berbadan hukum atau Koperasi dengan jumlah anggota paling sedikit sepuluh orang. Kedua, diutamakan yang telah memiliki sertifikat Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB) atau memiliki pengalaman usaha di bidang perikanan budidaya dengan menyertakan surat keterangan dari Dinas Kabupaten/Kota setempat. Ketiga, lokasi usaha yang dapat diusulkan sebagai lokasi usaha calon penerima bantuan antara lain: lahan usaha telah dipersiapkan serta diperuntukan untuk kegiatan perikanan budidaya, memiliki dokumen Sertifikat Hak Milik atau surat Sewa atau Perjanjian sewa yang jelas dengan minimal sewa satu tahun serta mempunyai aksesibilitas dengan mudah dijangkau minimal kendaraan roda 2. Keempat, penerima bukan anggota TNI/POLRI/ASN dan perangkat desa.

 

 

 

3.

Q :

Bagaimana Upaya Ditjen Perikanan Budidaya untuk meningkatkan daya saing udang Indonesia, khususnya di sektor hulu, sehingga kompetitif secara harga maupun kualitas mampu diterima oleh masyarakat internasional ?

 

A :

Dari sisi kebijakan, saat ini KKP sedang mendorong penerapan klasterisasi tambak udang dalam rangka mengembangkan prinsip budidaya secara bertanggungjawab, ramah lingkungan dan berkelanjutan. Melalui klasterisasi, maka dari sisi teknis penerapan biosecurity akan lebih ketat, pengelolaan limbah budidaya lebih efektif, dan pengelolaan budidaya berbasis konservasi, sehingga secara langsung akan mencegah terjadinya hama dan penyakit udang dan meminimalisir dampak budidaya terhadap ekosistem yang ada sehingga produk udang kita benar-benar memiliki daya saing tinggi di pasar global.

 

Untuk mendukung pengembangan kawasan budidaya berbasis klaster ini, KKP telah memberikan dukungan khususnya dalam rangka melakukan rehabilitasi petak tambak, dan saluran irigasi tambak melalui program pengelolaan irigasi tambak partisipatif (PITAP) dan alat berat ekscavator.

 

Untuk menjamin ketersediaan benih udang, KKP telah menetapkan Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara sebagai broodstock center dan Naupli Center udang windu dan merguensis, sedangkan Balai Produksi Induk Udang unggul dan Kekerarangan (BPIU2K) Karangsem sebagai broodstock center udang vanname. Disamping itu, KKP juga berupaya menjaga kualitas induk udang melalui penerbitan Surat Edaran (SE) pelarangan Penggunaan Induk dari Tambak.

 

KKP berupaya mendorong agar isu ketertelusuran dan keamanan pangan pada produk perikanan budidaya dapat diatasi melalui sertifikasi proses dan produk dari hulu hingga hilir.  Untuk itu dilakukan Pilot Project dalam rangka penyederhanaan sertifikasi di bidang budidaya hingga pengolahan, agar diperoleh ketepatan kualitas dan kuantitas sehingga dapat meningkatkan daya saingnya. Hal tersebut perlu dilakukan, mengingat negara pengimpor telah menerapkan sistem ketelusuran (traceablility), dimana semua produk-produk perikanan harus mampu diterlusur asal usulnya, untuk memberikan jaminan pangan serta tindakan-tindakan cepat bila ditemukan kasus keamanan pangan.

 

Selain itu, masih banyak dukungan-dukungan lainnya seperti pendampingan teknis oleh berbagai UPT lingkup DJPB, bantuan benih dan induk udang, jaminan usaha melalui asuransi bagi pembudidaya, dukungan permodalan melalui Balai Layanan Umum Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan (BLU-LPMUKP), juga mendorong startup crowdfunding yang saat ini sedang booming untuk bergerak di sektor perikanan budidaya.

 

 

 

4.

Q :

Bagaimana program pengelolaan irigasi tambak partisipatif (PITAP) dapat mendukung produksi tambak udang ?

 

A :

Kegiatan PITAP bertujuan untuk  merehabilitasi saluran irigasi tambak milik rakyat, meningkatkan luas lahan tambak yang terfasilitasi sumber daya air yang baik, sehingga berdampak terhadap peningkatan produksi udang. Disamping itu, PITAP juga sangat bermanfaat bagi Kelompok Pengguna Saluran Irigasi Perikanan (Poklina) dalam memperkuat kelembagaannya. Poklina berperan sebagai perwakilan dari pembudidaya ikan yang dapat ikut menjadi anggota komisi irigasi di tingkat kabupaten/kota dan menjadi wakil dari pembudidaya ikan dalam pemanfaatan air irigasi. Dukungan ini bermuara kepada ketersediaan air untuk kegiatan budidaya perikanan sehingga terjamin dan teratur setara dengan ketersediaan air untuk pertanian.

 

Pada tahun 2019 ini,  ada 10 kabupaten di 10 provinsi menjadi sasaran program tahun 2019 ini. Naik dari tahun 2018, yakni 8 kabupaten/kota di 7 provinsi. Diharapkan outcome yang dicapai dari program ini adalah teralirinya tambak dengan luas 2400 Ha sebagai akibat perbaikan saluran tambak.

 

PITAP memperlihatkan dampak yang positif, sebagai contoh di Poklina Rumlata Lestari, Kabupaten Pidie Aceh, yang menerima bantuan PITAP tahun 2015 dan 2016 menyampaikan bantuan ini sangat berdampak pada hasil produksi karena sekarang air bisa mengalir ke pertambakan sehingga hasil produksi meningkat sebesar 20%. Juga Poklina Mitra Mina dari Kabupaten Lombok Tengah, dengan PITAP maka masyarakat swadaya merawat saluran irigasi bersama, sehingga tumbuh nilai-nilai gotong royong, selain itu membantu perekonomian masyarakat dan produksi meningkat menjadi 10 kali lipat.

 

Sejak tahun 2013 hingga 2018, program pembangunan perbaikan saluran irigasi tambak yang telah dilakukan KKP melalui program PITAP sudah melayani saluran tambak sepanjang 807 km, lahan seluas 16.238,71 hektar, dengan melibatkan 418 poklina serta mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 13.028 orang di seluruh Indonesia.

 

 

 

5.

Q :

Saat ini berkembang isu bahwa pasokan induk udang dari balai benih belum memadai sehingga masyarakat menggunakan induk udang dari tambak. Apakah ini tidak berbahaya ?

 

A :

Penggunaan induk udang dari tambak sangat berbahaya karena berpotensi menularkan penyakit karena dipelihara di tempat terbuka sehingga sangat rawan terpapar atau tertular berbagai penyakit serta potensial menciptakan dan menyebarkan penyakit lokal ke daerah lain. Selain itu, proses pembuatan induk udang di tambak seringkali menyalahi atau tidak sesuai dengan protokol produksi induk, akibatnya induk udang yang dihasilkan tidak dapat dijamin bahwa secara genetik baik atau unggul.

 

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) secara resmi melarang penggunaan induk udang asal tambak, baik jenis udang vanname (Litopenaeus vannamei) maupun udang windu (Penaeus monodon) sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Nomor 4575/DJPB/2019 tanggal 22 Mei 2019. Larangan ini merupakan bentuk antisipasi serta sebagai upaya meningkatkan kewaspadaan dan kehati-hatian terhadap potensi timbulnya penyakit sindrom kematian dini (EMS) yang disebabkan oleh infeksi Vibrio parahaemolyticus yang dapat menyebabkan penyakit Acute Hepatopancreatic Necrosis Disease (AHPND).

 

Ada 3 (tiga) poin utama dalam edaran larangan tersebut, yaitu: pertama, setiap hatchery (hatchery skala besar dan skala kecil (HSRT)) dan naupli center dilarang menggunakan induk udang dari tambak; kedua, hatchery dan naupli center yang selama ini menggunakan induk udang dari tambak diharuskan untuk mengganti induk udang dari hasil breeding program broodstock center udang vannamei yang dimiliki pemerintah maupun swasta atau mengimpor induk udang bebas penyakit dari negara yang dinyatakan bebas penyakit; dan ketiga, pemerintah berupaya menyediakan induk udang hasil breeding program dari broodstock center.

 

Hal ini karena Indonesia merupakan salah satu negara yang dinyatakan terbebas dari penyakit EMS/AHPND, oleh sebab itu upaya yang benar-benar serius untuk mempertahankan status tersebut harus dilakukan. Salah satunya dengan memastikan proses pembenihan udang benar-benar aman dari kontaminasi penyakit EMS/AHPND, tidak terkecuali dengan menggunakan induk udang yang benar-benar terbebas dari penyakit ini.

 

 

 

6.

Q :

Akhir-akhir ini juga muncul isu mengenai indukan dan calon indukan unggul dan benih ikan bermutu yang belum merata dan harganya cukup mahal, bagaimana upaya KKP untuk mengatasi permasalahan tersebut ?

 

A :

Tahun 2019 ini, untuk mendukung tercapainya target produksi ikan dari hasil budidaya sebesar 10,36 juta ton ikan, KKP akan memberikan dukungan bantuan benih sebanyak 213,9 juta ekor bagi pembudidaya dan bantuan induk sebesar 1,2 juta ekor.

Strategi untuk kepastian dan kemandirian dalam penyediaan induk unggul dan benih bermutu adalah melakukan perbaikan dan peningkatan kapasitas produksi unit-unit broodstock dan breeding centre, pembangunan instalasi pembenihan baru milik UPT, implementasi teknologi pembenihan mutakhir dengan menggunakan sistem RAS (Recirculating Aeration System), serta pendampingan manajemen maupun teknis bagi balai benih ikan yang dimiliki pemda maupun revitalisasi unit pembenihan rakyat milik masyarakat.

 

Di Ambon, KKP telah berhasil memperluas fasilitas hatchery baru dilengkapi dengan implementasi teknologi RAS, kini hatchery tersebut mampu memproduksi benih ikan hingga 5 juta ekor per tahun dan mampu mengcover kebutuhan benih ikan laut di kawasan timur Indonesia.

 

Untuk mengantisipasi tingginya harga benih di beberapa daerah yang disebabkan biaya distribusi dan transportasi yang tinggi, Ditjen Perikanan Budidaya sedang mengupayakan pengembangan sistem logistik perbenihan ikan melalui pengembangan sarana prasarana UPR dan HSRT di daerah.

 

Selain teknologi RAS, KKP juga terus mendorong pengembangan teknologi produksi pakan alami seperti cacing sutera di seluruh Indonesia melalui UPT di Sukabumi, Jambi, Tatelu dan Mandiangin. Potensi cacing sutera sebagai pakan alami tinggi nutrisi, mudah dan murah untuk dibudidayakan di lahan yang berbatas serta masa reproduksi yang terbilang cepat menjadikannya primadona usaha bagi pembudidaya ikan guna mendukung peningkatan kualitas dan kuantitas benih ikan air tawar di Indonesia.

 

Khusus produksi calon induk dan induk udang, saat ini KKP melalui Balai Produksi Induk Udang unggul dan Kekerangan (BPIU2K) Karangasem telah berhasil memproduksi induk hasil pemuliaan yang telah disebar ke seluruh Indonesia baik dalam bentuk bantuan maupun pengadaan secara mandiri. produksi tahun 2018 sebanyak 86.700 ekor dari kapasitas produksi 100.000 ekor, dan terdistribusi ke wilayah Lampung, Indramayu, Cilacap, Jepara, Situbondo, Tuban, Banyuwangi, Kab. Barru, Kendari dan Gorontalo.

 

Berdasarkan laporan di lapangan, induk udang vaname dari BPIU2K Karangasem mempunyai performa yang baik dengan fekunditas mencapai 80% dan tingkat matang telur mencapai 50% dari total jumlah induk dan jumlah telur berkisar 150-200 ribu/ekor induk.  Harga induk udang vaname hasil pemuliaan dari Balai ini jauh lebih murah ketimbang induk udang impor, dimana harga induk hanya Rp 25.000 per ekor dibandingkan dengan induk impor yang berkisar Rp 300.000 - Rp 400.000 per ekor. Induk udang yang berasal dari kegiatan pemuliaan selain memiliki harga yang murah, juga mempunyai kemampuan adaptasi yang baik sehingga tingkat kematian menurun. Kemampuan adaptasi ini diharapkan akan diturunkan kepada benih sehingga benih dari induk hasil pemuliaan lebih tahan terhadap lingkungan.

 

Sebagai Informasi, pada tahun 2017 KKP telah menyalurkan bantuan benih sebanyak 177,6 juta ekor di 32 provinsi, tahun 2018 naik menjadi 163,8 juta ekor tersebar di 34 provinsi seluruh Indonesia dan tahun 2019 ini ditargetkan naik kembali menjadi 213,9 juta ekor. Sedangkan untuk bantuan induk dan calon induk ikan, tahun 2017 dan 2018 masing-masing sebanyak 1,2 juta ekor. Hingga semester 1 tahun 2019 telah tersalurkan 75,5 juta ekor benih dan calon induk ikan kepada pembudidaya maupun untuk kebutuhan restocking di berbagai daerah di Indonesia.

 

 

 

7.

Q :

Apakah benar penerapan Permen Nomor 15/PERMEN-KP/2016 tentang Kapal Pengangkut Ikan Hidup sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 32/PERMEN-KP/2016 telah menyebabkan matinya usaha budidaya laut dan menurunnya penerimaan devisa negara secara signifikan ?

 

A :

Tidak benar, Peraturan Menteri ini bertujuan untuk memperbaiki tata kelola pemanfaatan sumberdaya perikanan budidaya yang selama ini lepas kontrol dan justru berpotensi merugikan negara akibat praktek-praktek illegal, maka aturan ini menjadi keniscayaan untuk melindungi kepentingan nasional dan bangsa Indonesia di masa yang akan datang. Serta Aktivitas ekspor ikan hidup hasil pembudidayaan dapat lebih terkontrol melalui pelabuhan muat singgah dengan basis data yang akurat (diawasi dan dicatat oleh pihak terkait), sehingga dapat meminimalisir lost value atas nilai ekonomi sumberdaya yang harusnya masuk sebagai sumber penerimaan negara. Pada level pembudidaya diharapkan akan mendapatkan nilai tambah dengan menjalin kerjasama dengan pelaku usaha eksportir dalam negeri, dan transparansi transaksi pasar akan lebih terjamin. Intinya, penerapan aturan ini telah sejalan dengan prinsip responsibility, transparency, sustainability, sovereignty, dan economic interest.

 

Sebagai informasi, pada periode Januari s/d Maret 2019 tercatat  sebanyak 45 ton ikan kerapu asal Belitung telah diekspor ke Hongkong dengan nilai ekonomi mencapai hingga USD 353.570 atau setara dengan Rp 4,95 miliar. Aktivitas ekspor dari belitung tersebut menjadi bukti bahwa ekspor melalui jalur laut masih berjalan seperti biasa. Serta pada titik-titik sentral produksi kerapu lainnya seperti Bintan, Bali dan titik utama lainnya, aktivitas ekspor juga masih berjalan normal. Artinya kegiatan usaha budidaya kerapu masih berjalan baik di sentra-sentra produksi .

 

 

 

8.

Q :

Dampak dari program pakan mandiri bagi perkembangan perikanan budidaya di Indonesia ?

 

A :

Penggunaan pakan mandiri saat ini telah meluas hampir diseluruh sentra produksi budidaya di Indonesia, dimana pangsa pasar pakan mandiri ini merupakan pembudidaya ikan kecil. Masalah klasik terkait inefesiensi usaha akibat tingginya harga pakan, melalui program pakan mandiri ini mampu ditekan, sehingga pembudidaya mendapatkan nilai tambah yang lebih besar. Rata-rata melalui penggunaan pakan mandiri ini, pembudidaya mampu meraup nilai tambah pada kisaran Rp. 2.000,- hingga Rp. 3.000,- per kg hasil produksi ikan. Kondisi ini secara langsung memicu perkembangan usaha budidaya di Indonesia, karena pembudidaya banyak melakukan re-investasi untuk penambahan kapasitas usaha.

 

Berdasarkan indikator yang menjadi tolak ukur efisiensi usaha budidaya, NTUPi (Nilai Tukar Usaha Perikanan Budidaya Ikan), menunjukkan bahwa terjadi peningkatan yang sangat baik. Pada 4 tahun terakhir (2015-2018) NTUPi mengalami kenaikan rata-rata 2,02%  per tahun. Hal tersebut mengindikasikan bahwa usaha budidaya ikan semakin efisien dan memberikan keuntungan yang lebih baik. Keberhasilan tersebut sejalan dengan program gerakan pakan mandiri yang terus berkembang di sentra-sentra produksi sehingga memberikan efek besar dalam menekan biaya produksi serta meningkatkan nilai tambah keuntungan para pembudidaya ikan .

 

 

 

9.

Q :

KKP mempunyai program strategis minapadi, apa manfaat yang ada ?

 

A :

Sistem budidaya minapadi meningkatkan produksi padi dari  5 – 6 ton/Ha/panen menjadi 8 – 10 ton/Ha/panen, Efisiensi penggunaan pupuk, bibit padi dan pakan ikan, Efisiensi pemanfaatan lahan padi 80%, Tambahan pendapatan petani 15 – 60 juta/Ha, Padi bebas pestisida dan menghasilkan produk organik, Resiko rendah dari serangan hama, mempercepat perbaikan lingkungan, Mudah melakukan pengaturan air irigasi, memperbaiki kesuburan dan tekstur tanah, Meningkatkan pendapatan petani. Seperti yang sudah dirasakan oleh 16 anggota kelompok Mina Tunas Baru di Dusun Kabunan, Desa Widodomartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta yang menjadi lokasi proyek percontohan dari Dirjen Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan. Budidaya minapadi dilakukan pada lahan 4000 meter persegi, dengan menanam padi jenis Ciherang dan ikan nila merah berukuran 12 gram atau usia 45 hari. Setiap 1000 meter dengan mina padi bisa menghasilkan besar sampai 10 kuintal lebih, dengan rincian per 1000 meter perseginya memerlukan 200 kilogram pupuk kompos dan 8 kilogram pupuk urea. Dengan sistem mina padi, 40-an tunas padi menghasilkan 215 bulir padi. Sedangkan dengan cara konvensional,  10-15 tunas padi yang ditanam menghasilkan 160-170 bulir padi.

 

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) hingga tahun 2018 telah mengembangkan percontohan minapadi seluas 580 ha yang tersebar di 26 Kabupaten di Indonesia. Tahun 2019, KKP akan menargetkan penambahan luas lahan minapadi menjadi 400 ha .

 

 

 

10.

Q :

Bagaimana dengan dampak program budidaya ikan sistem bioflok bagi perkembangan perikanan budidaya di Indonesia ?

 

A :

Saat ini popularitas penerapan teknologi bioflok semakin meningkat di kalangan masyarakat dan pembudidaya ikan. Hal itu terjadi karena teknologi tersebut dinilai mampu menggenjot produktivitas, dengan penggunaan lahan yang tidak terlalu luas dan juga hemat sumber air, semua efek positif itu bisa didapat, karena teknologi tersebut mengadopsi bentuk rekayasa lingkungan yang mengandalkan suplai oksigen dan pemanfaatan mikroorganisme, dan secara langsung dapat meningkatkan nilai kecernaan pakan. Dengan mengunakan teknologi bioflok, produksi lele bisa mengalami peningkatan hingga tiga kali lipat dari produksi biasa sehingga bermanfaat untuk menambah suplai ikan secara nasional.

 

Sebagai gambaran, untuk budidaya dengan sistem konvensional dengan padat tebar 100 ekor/m3 itu memerlukan waktu 120-130 hari untuk panen. Sedangkan untuk sistem bioflok dengan padat tebar 500-1000 ekor/m3 itu hanya membutuhkan 100-110 hari saja. Tidak hanya itu, teknologi bioflok membuat produksi menjadi sangat efisien. Dengan rata-rata padat tebar 1.000 ekor/m3, maka dalam satu kolam bulat ukuran diameter 3 m, dapat ditebar benih lele sebanyak min. 3.000 ekor.

 

Hal yang menggembirakan bahwa teknologi bioflok kini sudah dimanfaatkan untuk komoditas lain seperti ikan nila, patin serta udang dan terbukti cukup berhasil.

 

 

 

 11.

Q :

Terkait program asuransi perikanan bagi pembudidaya Ikan Kecil (APPIK) sudah sejauh mana dampak dalam peningkatan daya saing dan motivasi para pembudidaya ikan serta bagaimana perkembangannya ?

 

A :

Usaha sektor perikanan budidaya dipandang usaha yang mempunyai resiko tinggi terhadap bencana alam dan rentan serangan hama dan penyakit yang dapat mengakibatkan penurunan produksi bahkan gagal panen sehingga pendapatan pembudidaya ikan menurun. Bencana alam dapat menyebabkan pembudidaya ikan menderita kerugian yang cukup besar sehingga untuk usaha berikutnya tidak mempunyai modal lagi, bahkan bagi pembudidaya yang meminjam kredit bisa menyebabkan menimbulkan kredit macet. APPIK  ini merupakan langkah konkrit dari komitmen KKP untuk melindungi pembudidaya ikan kecil agar mereka semakin berdaya dan mampu bangkit saat menghadapi kegagalan produksi akibat bencana alam ataupun penyakit.

 

Program APPIK yang dilakukan oleh KKP sejak tahun 2017 lalu telah berpengaruh nyata terhadap aktivitas usaha budidaya karena mampu memberikan jaminan usaha, motivasi dan semangat bagi para pembudidaya. Hingga tahun 2018 cover asuransi APPIK telah mencapai 13.520 ha. Jika pada tahun 2017 hanya untuk usaha budidaya udang, sejak tahun 2018 juga telah mengcover komoditas lainnya yaitu patin, nila salin, nila tawar, dan bandeng baik dengan metode monokultur atau polikultur untuk komoditas air payau.

 

Sedangkan untuk premi, udang sebesar Rp. 225 ribu per hektar/tahun dengan maksimum pertanggungan sebesar Rp. 7,5 juta per hektar/tahun, ikan patin per tahunnya sebesar Rp 90 ribu per 250 m2 kolam dengan maksimum pertanggungan sebesar Rp 3 juta per tahun/250 m2, premi untuk nila tawar per tahun sebesar Rp 135 ribu per 200 m2 kolam dengan maksimum pertanggungan sebesar Rp 4,5 juta per tahun/200 m2.

 

Sedangkan untuk nila payau preminya Rp 150 ribu per hektar/tahun dengan nilai pertanggungan maksimum sebesar Rp 5 juta per hektar/tahun. Komoditas lainnya yaitu bandeng premi per tahunnya hanya sebesar Rp 90 ribu per hektar dan polikultur Rp 225 ribu per hektar dengan maksimum pertanggungan Rp 3 juta dan 7,5 juta per hektar.

 

 

 

 12

Q :

Selain itu KKP juga memiliki program bantuan ekscavator, seberapa besar manfaat yang dirasakan oleh penerima bantuan excavator dan apa saja faktor yang mempengaruhi produktifitas dari bantuan tersebut serta apa saja indikator keberhasilan nya ?

 

A:

Total excavator yang sudah disalurkan mulai tahun 2015 sampai dengan 2018 kepada dinas dan masyarakat sebanyak 160 unit untuk 131 kabupaten/kota. Excavator telah dimanfaatkan untuk merehabilitasi tambak, selain itu juga dimanfaatkan untuk rehabilitasi tanggul, cetak kolam, rehabilitasi kolam, jalan produksi, rehab caren, cetak tambak garam dan embung. Dengan rincian rehabilitasi tambak seluas 2.742,95 Ha, mencetak tambak baru seluas 886,11 Ha dan merehabilitasi jaringan irigasi sepanjang 131,7 km.

 

Faktor yang mempengaruhi produktifitas excavator antara lain lokasi pekerjaan, kedalaman galian, keahlian operator, kondisi kerja dan kondisi alat. Sedangkan indikator dari keberhasilan bantuan tersebut antara lain terpeliharanya infrastruktur pendukung (saluran pengairan, tambak, kolam, jalan produksi dan lain-lain) di suatu kawasan dalam rangka mendukung kegiatan usaha di bidang kelautan dan perikanan, serta termanfaatkannya potensi daerah di bidang kelautan dan perikanan.

 

 

 

 13.

Q:

KKP sedang gencar mengembangkan rumput laut kultur jaringan, apa keunggulannya dan bagaimana perkembangannya ?

 

A:

Keunggulan rumput laut kultur jaringan diantaranya 1). mampu menghasilkan banyak tanaman secara terus menerus (kontinu), 2). membantu mengatasi kesulitan penyediaan bibit secara konvensional, 3). mampu menghasilkan bibit yang berkualitas dalam skala massal dengan waktu yang relatif singkat, tanpa dibatasi siklus musim, 4). dapat menyediakan bibit rumput laut dalam jumlah besar dengan sifat genetik yang sama dapat diperoleh tanpa memerlukan jumlah tanaman induk yang banyak, 5). memungkinkan untuk menghasilkan tanaman yang seragam dalam jumlah yang banyak dari strain yang telah terseleksi dengan karakteristik yang diinginkan, 6). sebagai sumber plasma nutfah dimana lokasi yang jauh dari sumber bibit alam dapat memanfaatkan sumber plasma nutfah dari hasil kultur jaringan; 7). umur bibit rumput laut yang digunakan dalam budidaya dapat tertelusur sehingga memudahkan untuk memperkirakan waktu untuk memperbaharui bibit, dan 8). dengan kultur jaringan penyediaan bibit dilakukan secara in vitro sehingga dapat dilakukan secara kontinu tidak tergantung pada kondisi alam, sehingga dapat menghindari eksploitasi sumber bibit dari alam secara berlebihan.

 

Perkembangannya saat ini cukup menggembirakan, ada 6 unit pelaksana teknis (UPT) yang telah mengembangkan Teknologi Kultur Jaringan Rumput Laut, yakni Balai Besar Perikanan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung, Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Situbondo, Balai Perikanan Budidaya Laut (BPBL) Ambon, Balai Perikanan Budidaya Laut (BPBL) Lombok, dan Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP) Takalar.

Bibit hasil kultur jaringan tersebut saat ini telah dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pembudidaya di sumatera, jawa, sulawesi dan kalimantan. KKP juga terus mendorong pengembangan sentra-sentra rumput laut di Papua (Kabupaten Fak Fak, Kaimana, Sorong, Biak Numfor dan Kepulauan Yapen), NTB, Maluku, Sulawesi dan daerah-daerah lain yang potensial sebagai sentra pengembangan rumput laut dengan memanfaatkan bibit hasil kultur jaringan.

 

 

 

14.

Q:

Baru-baru ini KKP meresmikan hatchery modern di BPBL Ambon yang dilengkapi teknologi RAS (Recirculation Aquaculture System), juga balai lain seperti Tatelu sudah mengimplementasikan teknologi ini untuk pembenihan ikan air tawar, apa sebenarnya yang dimaksud dengan teknologi RAS dan apa manfaatnya ?

 

A:

Teknologi RAS merupakan teknologi pembenihan intensif yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas pembenihan ikan dengan mengefisiensikan penggunaan air dan lahan, disamping itu menciptakan usaha yang minim dampak negatif terhadap ekologi.

 

Teknologi ini sangat bermanfaat karena memiliki keunggulan yaitu kepadatan bisa ditingkatkan dimana dengan wadah yang sama, kapasitasnya bisa naik hingga 5 kali lipat. Kualitas air juga mudah dikontrol dan jauh lebih stabil, penggunaan air ganti jauh lebih sedikit yakni hanya dibutuhkan 10% dari volume total air per hari, sehingga jauh lebih efisien bila dibandingkan dengan teknologi biasa (flowthrough) yang membutuhkan pergantian air hingga 300 % agar ikan bisa hidup dengan baik.

 

Teknologi RAS ini merupakan teknologi pembenihan ikan intensif yang dapat diterapkan untuk berbagai jenis komoditas baik tawar, payau maupun laut bahkan ikan hias, sehingga nantinya dapat menjadi solusi mengatasi permasalahan kebutuhan benih ikan di seluruh Indonesia.

 

 

 

15

Q:

Saat ini tengah ramai kembali isu penyakit EMS yang disinyalir mirip dengan penyakit AHPND, bagaimana gejala udang yang terjangkit dan apa langkah antisipatif yang telah dilakukan KKP untuk mencegah masuknya penyakit itu ke Indonesia ?

 

A:

Secara umum gejala klinis yang terlihat pada udang yang terinfeksi oleh AHPND di tambak antara lain: 1). terjadi kematian secara mendadak di dasar petak tambak pada umur <40 hari pasca tebar; 2). seringkali warna seluruh badan udang pucat dan saluran pencernaan kosong; dan 3). Hepatopankreas terlihat mengecil dan pucat jika dibedah.  Sedangkan di hatchery gejala klinis terhadap serangan AHPND masih sulit untuk dikenali, namun demikian dapat dilihat dari adanya gerakan larva dan postlarva (PL) yang terlihat lemah, hepatopankreas pucat, dan terjadi kematian secara mendadak mulai stadia PL 1 sampai dengan sebelum PL didistribusikan mencapai >30%.

 

KKP telah menyusun dan melakukan langkah-langkah komprehensif dan antisipatif sebagai upaya mencegah masuknya penyakit ini ke Indonesia. Rencana aksi tersebut yaitu: 1). melakukan surveilan AHPND ke sentra-sentra budidaya udang; 2). peningkatkan kesadaran masyarakat pembudidaya (public awareness) terhadap bahaya serta pencegahan AHPND ke sentra-sentra budidaya udang di Indonesia melalui penyelenggaran Workshop yang dilakukan di sentra-sentra budidaya udang bersama sama dengan pemerintah dan stakeholder seperti Shrimp Club Indonesia (SCI), Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) dan Asosiasi Pembenih Udang; 3). menyusun Standard Operasional Prosedur (SOP) Pencegahan penyakit bakterial khususnya AHPND; 4). penguatan kapasitas laboratorium (SDM dan Peralatan) UPT DJPB dan UPT Karantina dalam pengujian AHPND; 5). menyusun rencana aksi pencegahan masuk dan tersebarnya penyakit AHPND di Indonesia yang meliputi sosialisasi, surveilan dan penerapan biosecurity secara bersama-sama oleh stakeholder (tambak dan Hatchery); 6). telah melakukan kesepakatan bersama antara pelaku usaha (SCI, GPMT, Pembenih, Asosiasi Saprotam),   peneliti perguruan tinggi dan lembaga penelitian lainnya dalam pencegahan masuk dan tersebarnya AHPND di Indonesia; dan 7). melarang impor pakan alami, induk, dan benih udang dari negara negara terjangkit.

 

Untuk itu KKP telah membentuk tim task force (Gugus Tugas) yang melibatkan stakeholders terkait guna melakukan antisipasi potensi penyakit AHPND di sentral sentral produksi, mengeluarkan surat edaran untuk tidak menggunakan induk udang dari tambak melainkan harus dari hatchery yang tersertifikasi seperti Balai Pengembangan Induk Udang dan Kekerangan (BPIUK) Karangasem Bali, dan memperketat masuknya potensi penyakit AHPND dari negara terjangkit di pintu pintu masuk pelabuhan strategis. Saat ini Balai Karantina juga dilengkapi dengan real time PCR. Jadi harus dilakukan uji wajib AHPND pada lalulintas perdagangan terutama produk akukakultur, dan 4). sosialisasi secara intensif kepada para stakeholder khususnya pembudidaya di berbagai daerah.

 

 

 

16.

Q:

Bagaimana Pengembangan Ikan Hias di Indonesia ?

 

A:

Sebagai negara tropis dengan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang melimpah termasuk didalamnya potensi ikan hias, tidak heran saat ini Indonesia dijuluki sebagai “Home of Hundreds Exotic Ornamental Fish Species”.  Potensi besar sumberdaya ikan hias nasional, tentunya menjadi nilai strategis tersendiri bagi Indonesia khususnya dalam menggenjot penerimaan negara dari sumber devisa atas ekspor ikan hias Indonesia. Dalam mewujudkan Indonesia sebagai produsen dan eksportir ikan hias terbesar dunia, KKP melalui Ditjen Perikanan Budidaya akan menggenjot volume produksi ikan hias nasional, dimana tahun hingga tahun 2019 ditargetkan menjadi 2,5 milyar ekor.

 

Untuk mencapai target produksi ikan hias nasional tersebut, KKP akan menggenjot produksi pada sentra-sentra produksi ikan hias dan mengembangkan kawasan-kawasan potensial lainnya. Saat ini sentral-sentral ikan hias nasional masih didominasi oleh Propinsi Jawa Timur Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Banten, Maluku, dan Papua.

 

Strategi upaya pencapaian produksi ikan hias dilakukan melalui perbaikan mutu dan nilai perdagangan ekspor. Pemerintah akan mendorong asosiasi ikan hias dan penyelenggara jasa transfortasi untuk bekerjasama secara terpadu mewujudkan Indonesia sebagai produsen dan eksportir ikan hias terbesar dunia.

 

Terdapat  8 langkah-langkah strategis yang akan dilakukan yaitu : (1) peningkatan mutu melalui penerapan SNI dan CBIB Ikan Hias; (2) peningkatan produksi ikan hias, khususnya ikan koi dengan aplikasi vaksin, hormone, vitamin; (3) mendorong konservasi dan perlindungan habitat ikan asli Indonesia; (4) penguatan promosi dan pemasaran (branding); (5) pelayanan terpadu satu pintu; (6) meningkatkan kelancaran perdagangan dan transportasi; (7) penyeragaman data dan informasi produksi dan distribusi ikan hias; dan (8) pengawasan dan penegakan aturan.

 

 

 

17.

Q:

Dari sisi perizinan, apakah perizinan usaha perikanan budidaya cukup mudah ?

 

A:

Untuk ijin investasi usaha perikanan budidaya di dalam negeri dengan skala besar maupun investasi luar negeri koordinasi dan perijinannya ada di Badan Koordinasi Penanaman Modal. Sedangkan kami dari KKP berwenang untuk memberikan rekomendasinya.

 

Untuk mempercepat investasi di bidang budidaya, KKP memberikan kemudahan terhadap perijinan usaha tersebut, Ditjen PB akhir tahun lalu telah melakukan upaya reformasi perijinan dari awalnya paper-based menjadi berbasis online yakni dengan aplikasi AKUBISA (Aplikasi Kegiatan Usaha Bisnis Akuakultur). Layanan perizinan online “AKUBISA” diharapkan akan menjadi titik tolak dalam memberikan pelayanan perizinan usaha yang lebih terkontrol, terpantau, cepat, tepat, dan lebih dapat dipertanggunjawabkan. Menurutnya, untuk saat ini pelayanan “AKUBISA” akan digunakan untuk melayani 3 (tiga) aktivitas perizinan yaitu Izin Pemasukan Ikan Hidup (SIAPIH); Surat Izin Pengangkutan Ikan Hidup Hasil Pembudidayaan (SIKPI); dan Rekomendasi Pembudidayaan Ikan Penanaman Modal (RPIPM).

 

KKP terus mengupayakan agar dokumen perizinan dapat segera diterbitkan. Layanan dan konsultasi perizinan juga bisa melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu KKP di GMB IV Lt 1 Telp: (021) 3519070 ext 2826, email: ptsp@kkp.go.id

 

Perijinan usaha yang makin efektif dan efisien terbukti telah menciptakan iklim usaha yang makin prospektif dan efisien terbukti dengan semakin membaiknya nilai NTUPi.

 

 

 

18.

Q:

 Dengan berkembangnya teknologi 4.0. Bagaimana dengan perikanan budidaya ?

 

A:

Sebagaimana diketahui perkembangan teknologi informasi telah sedemikian dinamis. Era Industri 4.0 merupakan etape baru transformasi bisnis akuakultur dari semula konvensional ke arah yang berbasis digital atau Internet of Things (IoT).

 

Subsektor akuakultur siap menyongsong era industri 4.0 dengan fokus utama pada tujuan pencapaian efesiensi, produktivitas dan nilai tambah. Era ini harus ditangkap sebagai peluang, sehingga nilai ekonomi sumberdaya akuakultur ini mampu dimanfaatkan secara optimal. upaya mentransformasi bisnis akuakultur dalam industry 4.0 akan memberikan solusi terbaik khususnya dalam membangun sistem produksi yang lebih efisien dan terukur mulai dari aspek teknis produksi, penguatan SDM dan aspek manajemen bisnisnya.

 

KKP mendorong tumbuhnya startup bidang berikanan melalui diskusi mengenai kebutuhan-kebutuhan teknologi apa yang diinginkan oleh para stakeholder perikanan.  Selain itu juga beberapa kegiatan dilakukan bersama untuk mempromosikan dan mendorong masyarakat menggunakan produk-produk dari startup ini. Berbagai startup telah muncul diantaranya InFishta, Crowde, Growpal, JALA,  dan Venambak  yang mengembangkan financial technology (Fintech) dan juga aplikasi teknologi yang lebih mudah.

 

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan industry perikanan melalui industry 4.0 ini yakni : efisiensi mata rantai pasar melalui interkoneksi sistem informasi tataniaga guna meningkatkan nilai tambah di level pelaku bisnis akuakultur dan keterjangkauan harga dilevel konsumen; penciptaan sistem informasi logistik input produksi yang efisien dan mudah dijangkau oleh pelaku akuakultur; penguatan data base untuk menjamin sistem ketelusuran dalam proses produksi akuakultur;  penciptaan sistem mitigasi dan early warning sistem melalui penyediaan data base kondisi lingkungan secara real time; pencapaian efisiensi produksi melalui teknologi akuakultur berbasis digitalisasi; dan reformasi birokrasi perijinan berbasis online yang lebih efisien dan bertanggungjawab untuk menarik investasi.

 

Selain itu, penerapan teknologi digitalisasi dalam proses produksi harus dalam kerangka menjamin sustainable aquaculture. KKP mendukung berdirinya kampung ikan digital di berbagai daerah seperti kampung ikan lele digital di Indramayu.

 

 

 

19.

Q:

Di era milenial, bagaimana KKP mengajak generasi milineal untuk terlibat dalam perikanan budidaya ?

 

A:


Generasi milineal adalah anak-anak muda dengan inovasi luar biasa, saya memiliki keyakinan yang besar mereka dapat berkontribusi terhadap kemajuan perikanan budidaya di Indonesia. Melalui kerjasama antar berbagai pihak, terlebih peran dari para anak muda ini, maka bisnis perikanan budidaya ke depan akan mampu berdaya saing dan tidak ketinggalan dari sektor-sektor lainnya dalam pemanfaatan teknologi digital, dan sudah barang tentu akan mendorong percepatan pemanfaatan potensi ekonomi sumberdaya akuakultur bagi kemajuan perekonomian secara nasional.

 

Saat ini, generasi muda telah membangun bisnis start-up bidang perikanan budidaya, seperti InFishta, Crowde, Growpal dan Venambak  yang mengembangkan financial technology (Fintech), seperti model crowfunding bagi berbagai pembiayaan usaha akuakultur, dengan model ini diharapkan akan menarik lebih banyak investasi, disisi lain tentunya akan membantu pembudidaya untuk scale up atau meningkatkkan kapasitas usahanya.

 

Selain itu, startup bidang teknologi budidaya, seperti E-Fishery yang mengembangkan teknologi peralatan atau sarana budidaya seperti authomatic feeder dengan berbasis teknologi android. Dengan teknologi ini, maka kegiatan budidaya akan lebih efisien dan efektif baik waktu, tenaga maupun biaya karena mampu menurunkan FCR.

 

 

 

20.

Q:

Apa tantangan terberat yang dihadapi tahun ini ?

 

A:

Tidak dapat dipungkiri, seiring dengan kondisi global yang kian dinamis, subsektor perikanan budidaya, sebagaimana juga sektor-sektor yang berbasis pangan, akan dihadapkan pada 3 (tiga) tantangan besar ke depan.

  1. Perubahan iklim dan lingkungan global. Penurunan kualitas lingkungan yang dipicu oleh efek pemanasan global serta keterbatasan sumberdaya air dan lahan, secara langsung telah memberikan efek negatif terhadap penurunan produktivitas budidaya.
  2. Kondisi perekonomian global. Semakin ketatnya persaingan perdagangan baik pada level regional Asean (yakni dengan berlakunya MEA) dan global, menuntut adanya keberterimaan produk dan kemampuan daya saing produk akuakultur saat ini.

Pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk yang naik secara signifikan dari tahun ke tahun, sudah barang tentu menuntut pemenuhan kebutuhan pangan yang aman dan berkualitas.