Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) menyelenggarakan bimbingan teknis (Bimtek) bantuan pemerintah budidaya ikan lele sistem bioflok di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi (29–31/5). Bimtek ini diselenggarakan dalam rangka persiapan pelaksanaan kegiatan budidaya lele bioflok bagi penerima bantuan tahun 2018.
Sebanyak 120 orang peserta yang berasal dari pondok pesantren, seminari, pura, dan kelompok masyarakat penerima bantuan beserta perwakilan dinas kelautan dan perikanan kabupaten dan penyuluh perikanan dari 8 provinsi yaitu Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, hadir dalam acara tersebut. Mereka mendapatkan pelatihan tentang teknis budidaya lele bioflok dan kunjungan lapang langsung ke lokasi budidaya bioflok. selain itu, materi tentang akses permodalan, membangun jejaring bisnis, dan aturan terkait bantuan budidaya lele sistem bioflok juga diberikan.
"Penerima bantuan harus benar-benar tahu secara teknis, bagaimana budidaya bioflok. Oleh sebab itu, kami fasilitasi mereka berlatih di balai ini. Dengan begitu, kesukesan program ini dapat tercapai serta kelemahan di tahun lalu dapat diantisipasi sedini mungkin" ungkap Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto, saat menyampaikan arahannya kepada peserta Bimtek.
Lebih lanjut Slamet menjelaskan tentang urgensi program bantuan budidaya ikan sistem bioflok, ia menjelaskan bahwa program ini bukan hanya soal bagi-bagi bantuan, namun lebih substantif yaitu guna menjawab tantangan untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional. KKP memproyeksikan tingkat konsumsi ikan masyarakat akan terus meningkat dari sebelumnya 43 kg pada tahun 2017 dan diharapkan kembali meningkat menjadi 46 kg pada tahun 2018 ini, hingga pada tahun 2019 tingkat konsumsi ikan di harapkan sebesar 54 kg per kapita per tahun. Sedangkan khusus di kalangan pesantren, konsumsi ikan santri baru mencapai 9 kg dan hingga pada tahun 2019 akan terus didorong menjadi 15 kg per kapita per tahun.
Dengan target tersebut, setidaknya dibutuhkan suplai ikan sebanyak ± 14,6 juta ton pada tahun 2019, namun hanya 6,18 juta ton diantaranya yang diperkirakan berasal dari hasil perikanan tangkap, sedangkan sisanya atau sekitar 60 persennya akan bergantung pada hasil produksi budidaya.
Alasan pengembangan budidaya ikan sistem bioflok, lanjut Slamet, tidak terlepas dari keunggulan teknologi ini karena mampu menggenjot produktivitas ikan menjadi lebih tinggi, penggunaan lahan yang tidak terlalu luas dan hemat sumberdaya air. Melalui rekayasa lingkungan yaitu mengandalkan suplai oksigen dan pemanfaatan mikroorganisme, teknologi ini secara langsung dapat meningkatkan nilai kecernaan pakan (FCR).
“kita harus cepat dalam menjawab berbagai isu-isu yang ada, apalagi masalah pangan. Kita harus kedepankan ilmu dan teknologi, ini yang membuat KKP terus mendorong inovasi teknologi perikanan budidaya yang implementatif dan ramah lingkungan, seperti bioflok ini”tegasnya.
Sebagaimana diketahui, teknologi budidaya bioflok memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan sistem konvensional. Untuk ikan lele misalnya, padat tebar dapat ditingkatkan dari 100 ekor/m3 menjadi 1000 ekor/m3, waktu pemeliharaan juga dapat dipersingkat menjadi 75-90 hari saja dari sebelumnya 90-110 hari. Disamping itu penggunaan pakan lebih efisien, jika pada teknologi konvensional FCR bisa mencapai 1,2 maka dengan teknologi bioflok hanya 0,8. Artinya, untuk menghasilkan 1 kg ikan, cukup menghabiskan 0,8 kg pakan.
Secara itung-itungan bisnis, usaha ini juga sangat profitable. Sebagai ilustrasi, dalam 1 unit usaha lele dengan 12 kolam berukuran diameter 3 m dengan benih sebanyak 36.000 ekor, mampu memproduksi 4,3 ton ikan per siklus, sehingga pembudidaya dapat meraup pendapatan sekitar 292 juta rupiah per tahun (4 siklus) atau sekitar 24 juta per bulan. Kelebihan lainnya, budidaya bioflok juga dapat diintegrasikan dengan sistem hidroponik, secara teknis air buangan limbah budidaya yang mengandung mikroba dapat dimanfaatkan sebagai pupuk yang baik bagi sayuran.
“Bioflok ini menjadi solusi jitu, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat, namun juga dapat meningkatkan pendapatan, menyediakan lapangan kerja, serta menciptakan multiplier effect seperti untuk kegiatan tanaman sayuran” lanjut Slamet.
“bukan hanya untuk lele, teknologi bioflok juga bisa diterapkan untuk ikan lainnya. belum lama ini saya melaunching budidaya ikan Nila dengan bioflok. Hasilnya juga menggembirakan, FCRnya turun, waktu pemeliharaan lebih singkat, pada tebar meningkat dan ikan nilanya menjadi lebih gemuk dan cerah”imbuhnya.
Untuk tahun ini, KKP kembali mengalokasikan bantuan budidaya lele sistem bioflok sebanyak 150 paket, dengan rincian 50 paket dari pusat dan 100 paket dari Unit Pelaksana Teknis (UPT). Bantuan tersebut terbagi atas 2 skema, yaitu untuk di pulau Jawa dan luar pulau Jawa. Untuk di pulau Jawa berupa 12 unit kolam bulat dengan diameter 3 m, 36 ribu ekor benih ikan lele, 4,08 ton pakan, obat ikan dan vitamin, dan peralatan operasional. Sedangkan untuk di luar pulau jawa mendapatkan 10 unit kolam bulat dengan diameter 3 m, 30 ribu ekor benih ikan lele, 3,4 ton pakan, obat ikan dan vitamin, dan peralatan operasional.
Produksi langsung yang didapatkan dari bantuan tersebut setidaknya 587,8 ton per siklus atau 2.351 ton ikan lele per tahun dengan nilai ekonomi sebesar 39,971 milyar rupiah.
Atasi Kendala Permodalan, KKP Gandeng Perbankan
Sedangkan untuk mengatasi masalah permodalan dan guna meningkatkan skala usaha, KKP mendorong penerima bantuan maupun masyarakat yang ingin berbudidaya dengan sistem bioflok dapat memanfaatkan pembiayaan perbankan. Hal ini, menurut Slamet karena bantuan pemerintah hanyalah bersifat stimulan dan tidak dapat mencakup seluruh lapisan kelompok masyarakat.
"Saya minta kepada penerima bantuan agar dapat menjadi pusat-pusat percontohan penerapan teknologi bioflok, menjadi tempat bagi masyarakat lainnya belajar dan berlatih. Manfaatkan sumber pembiayaan perbankan untuk meningkatkan skala usaha, agar dapat dicontoh juga bagi masyarakat yang sudah belajar" Slamet memberi semangat.
Wenry Okto Fransius Tampubolon, senior Manajer dari Micro Development & Agent Banking Group Bank Mandiri yang sengaja diundang di acara yang sama menyambut baik jika ada pembudidaya yang ingin memanfaatkan pembiayaan dari Bank Mandiri. Menurutnya, ada skema-skema pembiayaan yang bisa dimanfaatkan seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) maupun skema kredit mikro lainnya.
Bunga KUR sendiri saat ini dipatok cukup rendah yaitu sebesar 7%, hal ini menurut Wenry akan membuat semakin ringan dan leluasa bagi perbankan untuk menawarkan KUR kepada calon debitur, begitu juga calon debitur akan semakin ringan menanggung beban bunga. Hal ini menurutnya, dapat dimanfaatkan oleh masyarakat termasuk untuk kegiatan budidaya ikan.
djpb1 05 Juni 2018 Dilihat : 20338