Kabupaten Sorong 18 April 2019.
Malaumkarta, Kabupaten Sorong, Papua Barat merupakan salah satu lokasi riset tim peneliti Balai Besar Riset Sosial Ekonomi KP (BBRSEKP) – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam menghasilkan Model Penerapan Ekonomi Kreatif Berbasis Budaya Bahari dan Kearifan Lokal Dalam Penciptaan Nilai Tambah Wisata Bahari. Pemilihan lokasi ini merupakan hasil diskusi antara BBRSEKP dengan Ditjen Pengelolaan Ruang Laut (PRL) yang sangat konsen terhadap masyarakat hukum adat di wilayah pesisir di Indonesia. PRL juga mempunyai Subdit Masyarakat Hukum Adat di bawah Direktorat Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Kunjungan lapang tim peneliti BBRSEKP dilakukan pada tanggal 8 – 16 April 2019. Peneliti yang bertugas diantaranya yaitu Umi Muawanah, P.hD, Nendah Kurniasari, M.Si, Riesti Triyanti, M.Si, Permana Ari Soejarwo, M.T, Ilham Febriansyah, S.IKom dan Tomi Febrian, M.Si. Setibanya di K ota Sorong pada hari Senin tanggal 8 April 2019 tim peneliti langsung bergegas mengunjungi Kantor Loka Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Sorong (LPSPL) yang merupakan satuan kerja dibawah Ditjen PRL. Kunjungan tim peneliti BBRSEKP diterima hangat oleh seluruh jajaran staf dan pejabat di LPSPL Sorong, Kemudian langsung dipersilahkan untuk memasuki ruang diskusi yang berada di bagian depan kantor tersebut. Salah satu pejabat LPSPL Sorong yang pada saat itu menemani diskusi yaitu Bapak Reza Pahlefi, beliau menjabat sebagai Kasubsi Pendayagunaan dan Pelestarian. Setelah tim peneliti BBRSEKP memperkenalkan diri satu per satu dan menjelaskan maksud serta tujuan riset yang berlokasi di Kampung Malaumkarta Kabupaten Sorong, Papua Barat diskusi langsung mengalir antara Bapak Reza dengan Tim Peneliti.
Beliau menjelaskan bahwa wilayah kerja LPSPL Sorong meliputi 4 (empat) Provinsi yaitu Papua, Papua Barat, Maluku dan Maluku Utara. Untuk itu, Kampung Malaumkarta yang terletak di Papua Barat masuk dalam wilayah kerja LPSPL Sorong. Lebih lanjut beliau menyampaikan bahwa Kampung Maluamkarta memang memiliki potensi wisata bahari, budaya bahari dan kearifan lokal yang sangat kental, mengingat hal tersebut, dengan nada semangat beliau merasakan kegiatan yang dilakukan oleh Tim Peneliti BBRSEKP sudah sangat sesuai dalam hal pemilihan lokasi riset.
Kampung Malaumkarta mempunyai jarak sekitar 48 Km atau sekitar 1 – 2 jam dengan Kota Sorong yang dapat ditempuh menggunakan mobil, motor atau angkutan kota. Kampung ini juga mempunyai sebuah pulau menarik yang diberi nama Pulau Um. Jarak Pulau Um kurang lebih 10 – 15 menit dari bibir pantai Kampung Maluamkarta yang dapat dijangkau dengan menggunakan perahu motor. Pulau Um mempunyai daya tarik tersendiri untuk wisata bahari yang ditandai dengan adanya pasir putih, banyaknya burung camar, kelelewar, pohon cemara dan merupakan destinasi bertelurnya penyu. Menurut penuturan Pak Reza Pulau Um akan berwarna hitam pada saat pagi hingga siang hari, hal ini dikarenakan banyaknya kelelawar yang berada di pohon cemara Pulau Um. Sedangkan pada malam hari Pulau Um akan berubah menjadi warna putih hal ini dikarenakan banyaknya burung camar yang berada di pohon cemara. Sementara itu potensi wisata bawah laut Pulau Um diantaranya terumbu karang, ikan hias serta adanya bangkai pesawat terbang. Kondisi ini merupakan daya tarik untuk wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Setelah menjelaskan mengenai potensi alam Pulau Um di Kampung Malaumkarta, Pak Reza juga memberikan informasi bahwa dari sisi budaya, adat istiadat dan kearifan lokalnya tidak kalah menarik. Untuk menyampaikan mengenai hal tersebut Pak Reza akan mempertemukan tim peneliti BBRSEKP dengan Bapak Troy selaku Dewan Penasehat AMAN Sorong (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), Bapak Sham Ketua AMAN Sorong dan Robert Kalami selaku tokoh muda Kampung Malaumkarta.
Hari berikutnya sebelum bertemu dengan Bapak Troy, Bapak Sham dan Robert Kalami, Tim Peneliti BBRSEKP mengunjungi beberapa instansi terkait di Kabupaten Sorong dalam menggali informasi mengenai peran serta instansi-instansi dalam mendukung pengembangan wisata bahari Pulau Um Kampung Malaumkarta. Beberapa Dinas yang dikunjungi antara lain Dinas Perikanan, Bappeda, Dinas PU serta Dinas Pariwisata. Menurut informasi yang diperoleh dari Dinas PU menyampaikan bahwa pada Tahun 2019 ini akan ada pembangunan lahan parkiran di Kampung Malaumkarta. Selanjutnya pada tahun 2020 rencana akan dibangun akses jalan dari jalan raya menuju Kampung Malaumkarta serta akan membangun pemecah gelombang untuk melindungi Pulau Um dari abrasi pantai. Selanjutnya Dinas Pariwisata Kab Sorong telah menghasilkan RIPARDA yang didalamnya terdapat Pulau Um Kampung Malaumkarta. Sedangkan untuk Dinas Perikanan mendukung dari sisi peningkatan kapasitas masyarakat adat Malaumkarta melalui pelatihan dalam pembuatan bakso ikan dan rehabilitasi mangrove di Pantai Malaumkarta.
Setelah berkunjung di beberapa instansi di Kabupaten Sorong, Tim Peneliti BBRSEKP bertemu dengan Bapak Troy, Bapak Sham dan Robert Kalami. Tanpa berlama-lama, Tim Peneliti langsung penasaran dan menanyakan sejarah singkat Kampung Malaumkarta, adakah kearifan lokal yang digunakan dalam pengelolaan sumberdaya alam, adakah potensi konflik dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Secara bergantian dan terlihat sangat kompak ketiga tokoh adat ini merespon pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh tim peneliti BBSERKP. Malaumkarta terdiri dari 3 suku kata yaitu Mala artinya gunung, Um artinya pulau dan Karta yang diambil dari kata akhir Ja-karta. Masyarakat Malaumkarta tinggal di wilayah ini sudah berabad-abad tahun lamanya, yang juga telah tercatat dalam legenda peradaban suku Moi di wilayah kepala burung Papua (Malamoi). Suku Moi di wilayah kepala burung Papau mempunyai sekitar 375 marga. Berdasakan pengakuan dari Bapak Troy, Moi sendiri mempunyai arti lembut dan sopan. Kemudian beliau menceritakan bahwa masyarakat di Malaumkarta yang merupakan bagian dari Suku Moi mempunyai sifat yang lembut, sopan dan terbuka layaknya suku Jawa Malaumkarta secara resmi diputuskan menjadi pemerintah kampung yang otonom pada tanggal 20 Desember 1991 yang disahkan oleh Gubernur Papua pada saat itu yaitu Barnabas Swebu, SH..
Malaumkarta merupakan salah satu kampung yang terdapat di Distrik Makbon Kabupaten Sorong, Papua Barat. Distrik dapat juga disamakan seperti Kecamatan. Dalam Distrik Makbon terdapat 5 kampung yang tergabung dalam Malaumkarta Raya, kelima Kampung tersebut yaitu: kampung Malaumkarta, Suatolo, Sawatut, Mibi dan Malaugufuk. Kampung Malaumkarta dan Suatolo sendiri mempunyai jarak yang sangat berdekatan dan hanya dipisahkan oleh jalan saja. Berbeda dengan 3 kampung lainnya yaitu Sawatut, Mibi dan Malaugufuk yang sangat berjauhan. Malaumkarta raya ini mempunyai beberapa tokoh yang sangat dihormati untuk menentukan beberapa hal yang terkait dengan kepentingan Malaumkarta Raya. Runtutan tokoh yang sangat dihormati antara lain yaitu 1) ketua dewan adat, 2) ketua jemaat gereja, 3) kepala kampung serta 4) ketua pemuda gereja. Sementara itu, nama marga yang terdapat di Malaumkarta Raya sebanyak 14 marga diantaranya yaitu 1. Mobalen Tanjung 2. Kalami Kining 3. Kalami Malaugufuk 4. Kalami Klagalas 5. Kalami Malatilkek 6. Kalami Tiloke 7. Magablo Klasou 8. Magablo Gauk 9. Magablo Lingswok 10. Malasamuk 11. Sapisa 12. Ulimpa 13. Su 14. Mobalen Gauk
Selain alamnya yang berpotensi untuk tujuan wisata, kampung Malaumkarta memiliki potensi wisata yang berasal dari sisi kebudayaan dan kearifan lokal. Budaya dan kearifan lokal ini apabila dikemas dalam sebuah atraksi wisata diyakini akan sangat menarik bagi wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Kearifan Lokal Masyarakat Malumkarta dalam memanfaatkan sumberdaya alamnya baik yang di darat maupun di laut takluput dari pengaturan atau sasi. Hal ini mempunyai tujuan agar sumberdaya alam tetap lestari dan dapat dimanfaatkan untuk generasi yang akan datang.
Sasi di Malaumkarta yang diterapkan di laut disebut dengan egek. Egek merupakan suatu kearifan lokal turun menurun di masyarakat Malaumkarta dengan melarang atau menutup wilayah laut untuk melakukan penangkapan atau pemanfaatan dalam jangka waktu tertentu dan jenis komoditas tertentu seperti teripang, penyu, lobster dan udang. Pelarangan pemanfaatan komoditas tertentu ini dapat berlangsung selama kurang dari 1 tahun atau 1 tahun atau bahkan lebih dari 1 tahun.
Lamanya waktu yang diterapkan dalam sasi egek ini adalah hasil dari musyawarah antara ketua adat, ketua jemaat gereja, kepala kampung, serta tokoh masyarakat lainnya. Menurut penuturan Robert sebagai salah satu tokoh muda di kampung Malaumkarta pembukaan egek dilakukan karena adanya keperluan bersama seperti contoh untuk keperluan renovasi gereja, Beasiswa putra putri Malaumkarta dan Pengiriman pendeta untuk melakukan ibadah ke luar kota. Lebih lanjut Robert mengatakan bahwa pada saat pembukaan egek minimal dilakukan kurang lebih selama 1 bulan penghasilan yang diperoleh dari komoditas seperti lobster, teripang dan udang dapat mencapai 300 juta. Hasil tersebut digunakan untuk untuk kepentingan bersama masyarakat Malaumkarta diantara untuk membangun gereja dan memberikan beasiswa kepada putra putri Malaumkarta untuk melanjutkan jenjang pendidikan lebih tinggi yaitu S1, S2 dan S3. Peraturan egek sudah diketahui oleh seluruh masyarakat Malaumkarta, bagi yang melanggar peraturan tersebut terdapat sanksi adat misalnya berupa denda sejumlah uang, hasil denda tersebut dimasukkan ke dalam gereja.
Prosesi pembukaan egek merupakan salah satu daya tarik yang dapat mendatangkan wisatawan apabila dapat dikelola antara masyarakat adat Malaumkarta dan pemerintah daerah setempat. Adanya masukan dalam mempromosikan prosesi pembukaan egek antara masyarakat adat malaumkarta dengan pemda setempat merupakan sebuah keniscayaan. Hal ini salah satunya dikarenakan masyarakat Malaumkarta yang mempunyai sifat santun dan terbuka terhadap hal hal yang baru. Namun demikian menurut beberapa masyarakat Malaumkarta seperti bapak Samuel dan bapak Sepanyer pembukaan egek bersifat sangat insidensial artinya apabila ketua adat, ketua jemaat dan kepala kampung sepakat membuka egek karena adanya keperluan bersama, maka dalam selang sehari atau maksimal 2 hari prosesi pembukaan egek berlangsung. Hal ini lah yang dirasa akan menjadi kendala dalam menyamakan waktu antara masyarakat Malaumkarta dengan pemerintah daerah setempat. Apalagi, jika akan dilakukan untuk sebuah festival wisata yang butuh perencanaan sebelumnya.
Keraifan lokal yang khas selanjutnya yaitu “Kovok” (tempat keramat). Kovok merupakan sebuah tempat keramat yang terdapat di laut dan di darat, tempat ini sama sekali tidak boleh dimanfaatkan atau dijamah oleh masyarakat Malaumkarta. Keberadaan kovok di laut dan di darat telah diketahui oleh seluruh masyarakat kampung Malaumkarta. Informasi keberadaan kovok disampaikan oleh para tokoh adat pada saat ibadah dan pertemuan gereja. Kovok ini sangat dipercayai oleh masyarakat Malaumkarta, apabila melanggar larangan ini maka dipercaya akan mendapatkan bencana/musibah yang besar. Apabila direnungkan secara mendalam dan melihat beberapa pernyataan dari Dewan Penasehat AMAN Sorong (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) Bapak Troy, Ketua AMAN Sorong Bapak Sham dan Robert Kalami selaku tokoh muda Kampung Malaumkarta, Kovok dapat diyakini sebagai tempat yang mempunyai cadangan sumberdaya alam untuk generasi yang akan datang. Cadangan sumberdaya alam tersebut misal adanya sumber minyak atau sumber emas. Beberapa tempat keramat yang terdapat di Kampung Malaumkarta terbagi atas nama tempat keramat dan tanah hak milik (Marga) secara rinci diperlihatkan pada Tabel 1.
No | Nama Tempat Keramat | Marga | Keterangan |
1 | Masilih | Kalami Malasilih | Darat |
2 | Kalufun | Mobalen | Darat |
3 | Kalamuntuk | Malasamuk | Darat |
4 | Kamana | Sapisa | Darat |
5 | Masagang Mefek | Do dan Sapisa | Darat |
6 | Safur | Mobalen | Laut |
Kearifan lokal ini akan sangat menarik bagi wisatawan apabila dikemas dengan sebuah narasi sehingga dapat dijadikan sebagai alur cerita yang disampaikan oleh pemandu wisata kepada wisatawan pada saat berwisata ke Malaumkarta, Sorong Papua Barat.
Sementara itu dari sisi ajaran budaya asli Malaumkarta terdapat Kambik (Pendidkan Adat Suku Moi). Seperti yang telah diceritan sebelumnya bahwa Suku Moi merupakan suku yang terdapat bagian kepala burung Papua (Sorong) dalam kehidupan yang telah berjalan secara turun temurun di Masyarakat suku Moi terdapat pendidikan adat yang diajarkan oleh para leluhur yang dinamakan Kambik. Pendidikan ini menurut Bapak Troy yaitu mengajarkan tentang ilmu kesehatan, ilmu astronomi, ilmu perikanan, ilmu pertanian serta ilmu bela diri. Masa pendidikan sekolah kambik sangat bervariasi sesuai dengan bidang ilmu akan dipelajari mulai dari 3 bulan, 6 bulan, 9 bulan, 1 tahun, hingga 2 tahun. Pendidikan Kambik ini dilakukan secara tertutup dan rahasia serta hanya boleh dilakukan oleh laik-laki. Kaum laki-laki yang belum menerima sekolah kambik dapat dikatakan belum laki-laki atau masih perempuan secara adat Moi.
Selain ilmu kesehatan, ilmu astronomi, ilmu perikanan, ilmu pertanian serta ilmu bela diri, pada pendidikan sekolah Kambik akan diajarkan banyak rahasia adat. Rahasia adat tersebut merupakan hal yang tidak boleh diketahui oleh perempuan (orang laki-laki dan perempuan yang belum sekolah kambik). Dalam masyarakat adat Moi, lulusan pendidikan sekolah kambik mempunyai posisi yang sangat terhormat. Para lulusan sekolah kambik dapat mengerti 2 level bahasa yang ada di adat Moi yaitu bahasa level 1 hanya dimengerti oleh orang yang sudah sekolah kambik, bahasa ini biasanya diucapkan pada upacara-upacara adat yang sifatnya khusus, Bahasa level 2 yaitu bahasa yang dimengerti oleh seluruh masyarakat suku Moi. Bahasa level 1 biasanya digunakan pada upacara-upacara adat.
Dari segi budaya khas lainnya yang sangat potensial untuk dijadikan atraksi wisata berupa tari-tarian dan prosesi pernikahan adat Suku Moi Kampung Malaumkarta. Alam, Kebudayaan dan Kearifan Lokal merupakan potensi yang sangat bagus dalam mendukung sektor pariwisata Kampung Malaumkarta, Kabupaten Sorong, Papua Barat. Untuk itu harapannya agar Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang terdapat di Kabupaten, Kota dan Provinsi Papua Barat harus mendukung dan menjaga potensi Kampung Malaumkarta agar tetap berkelanjutan untuk generasi yang akan datang serta dapat memberikan nilai tambah bagi kehidupan masyarakat.
Penulis : Permana Ari Soejarwo
Admin BBRSEKP 18 April 2019 Dilihat : 4412