TRIBUNBATAM.id - Pemerintah China melayangkan protes ke Indonesia karena melakukan pengeboran minyak dan gas (migas) di wilayah perairan Kepulauan Natuna.
Wilayah maritim tersebut memang diklaim kedua negara. Sebuah surat dari Diplomat China kepada Kementerian Luar Negeri Indonesia dengan jelas mengultimatum Indonesia untuk menghentikan pengeboran di rig lepas pantai untuk sementara waktu karena lokasinya berada di wilayah yang dianggap milik China. Indonesia mengatakan ujung selatan Laut Cina Selatan adalah zona ekonomi eksklusifnya di bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut. Indonesia menamai wilayah tersebut dengan Laut Natuna Utara pada 2017, di mana sebelumnya disebut Laut China Selatan.
Sebenarnya potensi apa yang terkandung di Laut Natuna?
Peneliti Ahli Utama Bidang Oseanografi Terapan & Manajemen Pesisir, Kementerian Kelautan & Perikanan Widodo S. Pranowo mengibaratkan Laut Natuna adalah taman bunga yang selalu menghasilkan serbuk sari. "Sehingga banyak lebah yang akan datang karena mencium bau harum nektar dari bunga-bunga tersebut yang dihembuskan oleh angin hingga mencapai jarak yang jauh," ujarnya.
Proses pembentukan secara geologi dari basin Laut Natuna (Utara) dan Laut China Selatan selama ratusan jutaan tahun yang lalu, menimbulkan cekungan-cekungan jebakan minyak dan gas bumi di bawah dasar Laut Natuna (Utara) dan Laut China Selatan. Akibat pembentukan geologi basin tersebut, Laut Natuna (Utara) memiliki kedalaman yang dangkal, yang menyambung ke batimetri basin yang dalam dari Laut China Selatan. Basin tersebut kemudian membangkitkan pola sirkulasi arus laut yang unik, yakni Viet Nam Jet Current (VJC) dan Natuna Off-Shelf Current (NOC). "Sebenarnya VJC dan NOC ini merupakan satu kesatuan polas irkulasi di Laut China Selatan," tambah Anggota Dewan Pakar Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (ISKINDO) itu.
Viet Nam Jet Current adalah sirkulasi arus yang mengalir dari arah Samudera Pasifik Barat Laut China Selatan dengan kecepatan tinggi. Sirkulasi arus itu menyusur tebing Laut China Selatan di sisi barat-laut/utara yang melewati Viet Nam. Kemudian berbalik arah ketika mendekati tebing Laut Natuna (Utara) sehingga kemudian disebut sebagai Natuna Off-Shelf Current (NOC). Widodo menambahkan, Sungai Mekong yang bermuara di pesisir Viet Nam, memasok nutrien atau zat hara dari darat mengalir ke dasar Laut China Selatan. Adanya Viet Nam Ject Current dan Natuna Off-Shelf Current tersebut mengangkat zat hara dari dasar perairan menuju ke atas (upwelling). "Kemudian perairan menjadi sangat subur menyediakan khlorofil dan oksigen yang digunakan oleh ikan dan biota laut ekonomis tumbuh dan berkembang biak," ujar Widodo yang juga sebagai 3. Anggota Dewan Pakar Ikatan Alumni Program Habibie (IABIE).
Khlorofil dan oksigen tersebut juga tersebar dengan merata dan baik di seluruh perairan pesisir di Laut China Selatan dan Laut Natuna (Utara). Sehingga tidak heran satelit Vessel Monitoring System yang disajikan oleh Global Fishing Watch mendeteksi sangat banyak kapal penangkap ikan di sana. Bahkan aktivitas kapal penangkapan ikan secara terus menerus hampir sepanjang tahun. Kapal-kapal tersebut ada yang memiliki identitas/izin penangkapan, dan banyak pula yang tidak memiliki identitas/izin penangkapan.
Pengelolaan konflik pemanfaatan sumber daya
Pemanfaatan sumberdaya di Laut China Selatan dan Laut Natuna (Utara) juga memantik konflik. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri sudah 30 tahun berperan aktif dalam upaya diplomasi perdamaian di kawasan Laut China Selatan. Diplomasi penanganan potensi konflik di Laut China Selatan yang terbaru adalah Lokakarya “The 30th Workshop on Managing Potential Conflict in the South China Sea” pada 13-14 Oktober 2021. Lokakarya diselenggarakan Pusat Strategi Kebijakan Luar Negeri Multilateral, Kementerian Luar Negeri, yang bekerjasama dengan Badan Informasi Geospasial (BIG), dan Center for South-East Asian Studies (CSEAS). Diplomasi perdamaian yang telah dilakukan adalah dengan melakukan riset/penelitian dan pengembangan secara bersama-sama antar negara-negara di kawasan Laut China Selatan, seperti: Indonesia, Republik Rakyat China, China Taipei, Viet Nam, Filipina, Malaysia, Thailand, Laos, Kambodia, Myanmar, Singapura dan Brunei Darussalam. Diplomasi perdamaian melalui riset telah dilakukan selama kurang lebih 16 tahun. Salah satunya dengan terbentuknya kelompok kerja studi pasang surut dan dinamika muka laut.
Pokja ini pada 13-14 Oktober 2021 melaksanakan ‘The 16th Working Group Meeting on The Study of Tides and Sea Level Change and Its Impacts on Coastal Environment in The South China Sea’. Konsorsium Indonesia-Tiongkok melalui kerangka kerjasama Pusat Kelautan Iklim Indonesia Tiongkok (PKIIT) atau lebih dikenal secara internasional sebagai Indonesia China Center for Ocean Climate (ICCOC) pernah beroperasi 2009 - 2015. Hal ini merupakan hasil kerjasama antara Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (KKP) dengan State Oceanic Administration(SOA) People Republic of China.
Bahkan penandatangan kerjasama yang dilakukan oleh kedua menteri tersebut disaksikan oleh Presiden Republik Indonesia dan Presiden Republik Rakyat China pada saat itu. "Ketika kita menilik perjalanan panjang diplomasi perdamaian yang telah dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia tersebut di atas, maka menjadi cukup kaget ketika RRC baru-baru ini melakukan protes diplomatik kepada Indonesia, meminta Indonesia menyetop kegiatan pengeboran minyak di Laut Natuna (Utara)," ujarnya.
Percikan-percikan konflik juga masih ada yakni pernah adanya gesekan antara Coast Guard China dan Coast Guard Indonesia terkait dengan dugaan kapal pelaku illegal fishing. "Sepertinya persiapan diplomasi tersebut perlu lebih ditingkatkan dengan penguatan-penguatan tertentu secara internal," jelasnya.
Penguatan internal tertentu tersebut, mungkin bisa dilakukan dengan mematangkan koordinasi internal antara Kementerian Luar Negeri, Kementerian Energi dan Sumber-Daya Mineral, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Dalam Negeri, Badan Nasional Pengelola Perbatasan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, serta Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi. Hasil penguatan inilah yang kemudian bisa dibawa kedalam lokakarya penanganan potensi konflik di Laut China Selatan yang setiap tahun diselenggarakan oleh Kementerian Luar Negeri. Indonesia bisa mengajak RRC dan negara-negara di kawasan tersebut untuk bermitra secara multilateral mengelola dan memanfaatkan sumber daya laut dan bawah dasar laut.
Keuntungan yang diperoleh haruslah seimbang di antara negara-negara di kawasan tersebut. Pemerintah Indonesia mungkin perlu menggandeng organisasi-organisai profesional yang mungkin bisa lebih cair bekerjasama dengan mitra-mitra bidang ekonomi di negara-negara di kawasan Laut China Selatan. Salah satu contoh tematik yang bisa dikerjasamakan adalah terkait pemantauan lingkungan laut dan arus di Laut Natuna (Utara) dan Laut China Selatan. "Hal ini menjadi penting. Ketika misalkan ada tumpahan minyak dari blok migas di perairan Natuna, bisa segera ditangani sebelum kemudian tersebar meluas ke Laut China Selatan, dan mencemari sumberdaya pesisir di sekitarnya," jelasnya.
Sumber Beritan : Tribunnews
Joko Subandriyo 08 Desember 2021 Dilihat : 3603