Indonesia   |   English  
Saran Dan Pengaduan

PUSAT RISET KELAUTAN
BADAN RISET DAN SDM KELAUTAN DAN PERIKANAN
×

KKP

Kilas Berita  
Ancaman di Pesisir Tidak Hanya dari Kenaikan Air Laut
 

JAKARTA, KOMPAS - Percepatan kenaikan permukaan air laut sebagai dampak pemanasan global tidak menjadi satu-satunya ancaman untuk kawasan pesisir. Penurunan tanah, instrusi air laut, abrasi, serta ancaman badai tropis yang menguat pun terjadi di pesisir.

 

"Dampak pemanasan global ada yang dampak cepat (rapid onset) dan dampak lambat (slow onset). Kenaikan muka air laut termasuk slow onset, dampaknya perlahan namun pasti," kata Widodo Setiyo Pranowo, peneliti Laboratorium Data Laut dan Pesisir, Pusat Riset Kelautan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Rabu (1/9/2021).

 

Ia menambahkan, contoh bencana rapid onset yaitu siklon tropis yang menguat frekuensi dan intensitasnya. Siklon tropis kuat yang dulu terjadi 1 kali dalam 10 tahun, bisa meningkat kemunculannya menjadi 3 kali dalam 10 tahun. Ia mencontohkan siklon tropis Seroja yang melanda sejumlah wilayah di Nusa Tenggara Timur awal April 2021.


Dampak bencana ini semakin signifikan ketika keduanya berpadu. Apalagi wilayah Indonesia memiliki garis pantai yang sangat panjang. Naiknya muka air laut dipastikan akan menggenangi daratan pantai yang landai dan yang turun akibat penurunan daratan.

 

"Kondisi Indonesia sangat dinamis dipengaruhi oleh iklim benua Asia dan Australia, serta telekoneksi iklim dari Samudra Hindia dan Samudra Pasifik"

 

"Dengan kondisi muka air laut yang semakin masuk ke arah daratan, maka dimungkinkan juga semakin mendekati bangunan atau fasilitas. Dampak sistemiknya semakin merambat dan melimpas masuk ke darat," kata dia. 

Menurut Widodo, Badan Riset Kementerian Kelautan dan Perikanan, pernah melakukan pemodelan indeks kerentanan pesisir (IKP) untuk mengetahui tingkat kerentanan relatif seluruh pesisir di Indonesia terhadap perubahan muka laut sebagai dampak dari perubahan iklim. Ia menyebutkan wilayah pesisir yang memiliki tingkat kerentanan sangat tinggi di antaranya utara Jawa dari Banten hingga Pekalongan, dan beberapa lokasi di pesisir Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan. Wilayah pesisir dengan tingkat kerentanan tinggi terdapat di pesisir timur dan barat Sumatera, sebagian dari Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan pesisir selatan Papua.

Ia mengatakan idealnya, peta-peta kerentanan pesisir tersebut dimutakhirkan setiap 5 hingga 10 tahun sekali. Ini karena kondisi Indonesia sangat dinamis dipengaruhi oleh iklim benua Asia dan Australia, serta telekoneksi iklim dari Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. upaya adaptasi dan mitigasi terhadap bencana, baik yang bersifat rapid onset maupun slow onset akibat perubahan iklim.

 

 

Penurunan daratan


Tubagus Solihuddin, peneliti bencana pesisir dari Pusat Riset Kelautan, KKP menambahkan, kerentanan pesisir di wilayah Indonesia, khususnya di kawasan urban, diperparah oleh penurunan muka tanah (land subsidence). Bahkan, penurunan muka tanah ini, di beberapa kawasan terjadi sangat ekstrem dibandingkan kenaikan muka air laut.


"Untuk perubahan iklim baik data NOAA maupun data IPCC (The Intergovernmental Panel on Climate Change) kisarannya masih 0,8-1 meter sampai tahun 2100. Artinya selama 80 tahun ke depan, tiap tahun kenaikannya rata-rata 1 cm per tahun," kata dia.


Sebelumnya diberitakan, kajian terbaru oleh tim peneliti internasional yang diterbitkan di jurnal Nature Climate Change pada 30 Agustus 2021 menunjukkan, kenaikan permukaan laut ekstrem akan terjadi hampir setiap tahun pada akhir abad ini, dimana Indonesia termasuk negara yang bakal terdampak serius. Penulis pertama kajian ini yaitu Claudia Tebaldi dari Pacific Northwest National Laboratory, College Park, Amerika Serikat. 

 

Namun, menurut Solihuddin, penurunan daratan lebih mengerikan. Mengacu pada sejumlah kajian Andreas dan Abidin (2016), penurunan tanah di sebagian wilayah Jakarta bisa mencapai 25 cm per tahun dengan rata-rata 15 cm per tahun. Pengukuran oleh LAPAN menggunakan data radar juga menemukan penurunan daratan di kisaran 10 -15 cm per tahun dari 2015 -2020.

khususnya Semarang dan Demak. "Penurunan tanah telah menjadi pembunuh diamdiam yang meningkatkan risiko banjir di wilayah pesisir dan dampak merugikan lainnya yang meluas. Apalagi, ditambah dengan kenaikan muka air laut, kombinasi yang sangat merugikan," kata dia.


Menurut Solihuddin, penurunan daratan di kota-kota besar di Jawa ini di antaranya dipicu oleh pengambil air tanah yang masif, selain karakter endapan tanah muda yang belum solid, sementara beban di atasnya sangat tinggi. "Saya kira tidak ada faktor tunggal," kata dia. 

 

Selain risiko banjir yang meningkat, menurut Solihin, kombinasi penurunan tanah dan kenaikan muka air laut ini juga menyebabkan intrusi air laut ke daratan. "Ada dua jenis intrusi, pertama adalah masuknya air laut permukaan ke daratan. Pengukuran kami di Muaragembong, Bekasi instrusi ini menyebabkan kerusahan lahan tambah seluas 1.076 hektar. Sedangkan di Pondok Bali, Subang merusak lahan seluas 1.000 ha dari tahun 2005-2020 saja," kata dia.

Solihuddin mengatakan, instrusi air laut di bawah permukaan, yaitu masuk ke akuifer tanah juga telah terjadi di banyak kawasan pesisir. "Ini terutama terjadi di pantai utara Jawa, tapi data kajiannya masih terbatas," kata dia.

 

Editor:ICHWAN SUSANTO

Sumber: https://www.kompas.id/baca/ilmu-pengetahuan-teknologi/2021/09/02/ancaman-di-pesisir-tidak-hanya-dari-kenaikan-air-laut/

 

 
 

Dani Saepuloh   02 September 2021   Dilihat : 8921



Artikel Terkait: