JAKARTA — Perkembangan penerapan ilmu kelautan dan perikanan sebagai solusi atau alat bantu dalam kehidupan masyarakat, berkembang pesat dalam kurun 15 tahun ini. Banyak hal yang menyebabkannya, mulai dari kebijakan hingga kualitas gizi.
Ahli Oseanografi Terapan Pusat Riset Kelautan, Widodo Setiyo Pranowo menyatakan, dalam kurun waktu 2003-2020, pengembangan teknologi dan inovasi di sektor kelautan dan perikanan, mengalami perkembangan dinamis.
“Banyak yang mempengaruhi, mulai dari sisi anggaran yang menjamin keberlanjutan pengembangan teknologi dan inovasi, perubahan kebijakan dalam bidang riset kelautan dan perikanan hingga dinamika pada implementasi regulasi sharing royalty,” kata Widodo saat dihubungi, Kamis (19/8/2021).
Ia menyebutkan, seiring dengan perkembangan teknologi 4.0, teknologi dan inovasi sektor kelautan dan perikanan juga semakin meningkat.
“Ketika berbicara konsep teknologi 4.0, maka terdapat komponen besar di dalamnya, yakni robotic, artificial intelligent, big data, dan internet of things. Tersedianya komponen elektronik seperti prosesor, data storage, ram, mikrokontroler, dan berbagai sensor, menjadikan pengembangan teknologi dan inovasi menjadi lebih cepat,” paparnya.
Faktor peningkatan gizi yang baik juga telah menciptakan generasi milenial yang melek akan teknologi programming atau coding, sehingga pengembangan teknologi dan inovasi pada zaman sekarang bisa dilakukan oleh masyarakat luas atau siapa saja yang bukan atau belum berprofesi sebagai perekayasa dan peneliti. Yang dibutuhkan pengetahuan dasar teknologi 10 persen dan ketekunan 90 persen.
“Generasi milenial para alumnus perguruan tinggi dari program studi perikanan dan ilmu kelautan sudah banyak yang menciptakan aplikasi android berbasis internet of thing seperti untuk menjual ikan dan aplikasi untuk mengontrol pemberian pakan di kolam atau tambak. Bahkan ada kelompok pelajar sekolah menengah kejuruan, yang berhasil menciptakan alat penjemur ikan agar menjadi ikan asin, yang dilengkapi dengan sensor cuaca, sehingga ketika hujan, secara otomatis lapisan pelindung hujan akan menutup ikan yang dijemur tersebut,” paparnya lagi.
Widodo menceritakan, sebagai contoh, adalah apa yang dilakukan oleh para mahasiswa ilmu kelautan dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran yang tergabung dalam organisasi kemahasiswaan KOMITMEN yang dibina oleh Noir Primadona Purba.
“Mereka berhasil mengembangkan instrumen dan wahana survey di laut dangkal yang bernama GERNED (GPS Drifter Combined) yakni suatu alat yang mirip dengan Argo robotic autonomous profiling float. GERNED sama dengan Argo Float dalam memanfaatkan satelit untuk positioning di laut,” ujar pria yang tergabung dalam Dewan Pakar IABIE ini.
Ia menjelaskan, novelti yang membedakan adalah GERNED mengirimkan data dengan gelombang radio, sehingga cocok digunakan untuk wilayah perairan yang memiliki tingkat kerahasiaan yang tinggi. Wahana GERNED ini telah dilakukan uji coba di perairan Kepulauan Seribu dan telah dipublikasikan di Jurnal Kelautan Nasional Volume 13 Nomor 3 Tahun 2017.
“Contoh lainnya adalah Prodi Hidrografi, Sekolah Tinggi Teknologi Angkatan Laut (STTAL) yang mendukung perwira siswanya lebih mengembangkan teknologi dan inovasi perangkat lunak, sebagai wujud komitmen tinggi mewujudkan kemandirian akan teknologi peralatan survey hidro-oseanografi,” ujarnya lagi.
Sedangkan Prodi Hidro-Oseanografi lebih mengkhususkan siswanya kepada pengembangan teknologi perangkat kerasnya.
“Berbagai purwarupa telah dihasilkan STTAL dalam kurun waktu 10 tahun ini, seperti alat pengukur elevasi muka laut dengan berbagai sensor mulai dari infrared, ultrasonic, dan sensor tekanan. Ada pula pengukur variabel massa air seperti suhu laut, salinitas dan tekanan atau pengukur cuaca maritime yang ringan dan portable,” tuturnya.
Untuk perangkat lunak, STTAL sedang mengembangkan purwarupa peta navigasi kapal selam dan sistem fusi-oseanografi sebagai pendukung purwarupa peta tersebut.
“Apa yang dilakukan oleh UNPAD dan STTAL tersebut hanyalah sekedar contoh dari sekian perguruan tinggi yang memiliki kompetensi unggul di Indonesia. Namun, upaya mereka untuk menuju ke dunia industri, sudah sangat luar biasa, mengingat jika terus mengandalkan teknologi survei secara impor maka semakin banyak uang Indonesia yang keluar untuk membayar kekayaan intelektual yang dimiliki oleh negara asing,” ungkap penerima Satyalancana Dwidya Sistha pada tahun 2015 ini.
Berbicara tentang riset dan perekayasaan yang menghasilkan teknologi dan inovasi, maka akan berbicara pula dengan kultur atau budaya, dan Indonesia memiliki ratusan budaya daerah. Riset adalah dari kata ‘Re’ dan ‘Search’, artinya adalah pencarian ulang, suatu upaya penemuan sesuatu dengan proses yang dilakukan secara tekun, dengan pencapaian hasil yang bertahap, dan bahkan harus terus dicari hingga jawaban tersebut ketemu.
“Budaya yang berlaku di masyarakat Nusantara ini adalah tidak terlepas dari hasil riset yang dilakukan oleh masyarakat tersebut dalam jangka waktu yang panjang, hasil riset tersebut sering disebut sebagai kearifan lokal. Namun, kadang ada manusia di bumi Nusantara ini yang lupa akan akar budaya dari suatu riset dalam menghasilkan teknologi atau inovasi yang matang. Hal yang diingat hanyalah tentang dongeng Prabu Bandung Bondowoso yang bisa mengerahkan ribuan Jin sebagai insinyur bangunan sehingga bisa membangun 999 candi hanya dalam semalam,” pungkas Widodo.
Sumber Berita : Cendananews
Joko Subandriyo 20 Agustus 2021 Dilihat : 6142