Indonesia   |   English  
Saran Dan Pengaduan

PUSAT RISET KELAUTAN
BADAN RISET DAN SDM KELAUTAN DAN PERIKANAN
Kilas Berita  
Jakarta tenggelam, ya atau tidak? ... Ini Pandangan Peneliti Madya Pusriskel
Jawabnya ya, kalo kita tidak berbuat sesuatu. Sebetulnya ini bukan isu baru, namun kembali menghangat setelah pernyataan Presiden USA Joe Biden tentang ancaman kenaikan muka air laut sekitar 2,5 kaki (~0,75 m) akibat perubahan iklim dan pemanasan global. Kalau prediksinya benar tutur Joe Biden, Jakarta akan tenggelam dan Indonesia harus memindahkan ibukotanya ke tempat yg lebih aman.
 
Sebelumnya, melalui perbandingan citra satelit tahun 1990 dan 2019 (~30 tahun), Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika NASA juga melaporkan perubahan penggunaan lahan yang sangat masif di Jakarta selama 30 tahun kterahir disertai dengan penyempitan beberapa alur sungai dan kanal akibat sedimentasi dan tumpukan sampah.
 
Lantas apa yang harus dilakukan? Sebelum ke situ, mari kita urai terlebih dahulu akar masalahnya. Yang pasti, hampir setiap tahun Jakarta mengalami banjir yg disebabkan oleh salahsatu atau kombinasi: air kiriman dari hulu (Bogor), air di hilir (Jakarta) karena curah hujan tinggi, dan air dari laut (rob).
 
Laporan BMKG menyebutkan bahwa El Nino (musim kering panjang) dan La Nina (musim hujan panjang) kini intensitasnya semakin meningkat sbg dampak dari perubahan iklim. Jika pada periode 1950-1980 siklusnya sekitar 5-7 tahunan, pada periode 1980-2018 siklusnya menjadi 2-3 tahunan. Dampaknya? Kita akan lebih sering mengalami kekurangan air (kekeringan) sekaligus kelebihan air (banjir).
 
Panel antar pemerintah untuk perubahan iklim (IPCC) memprediksi kenaikan muka air laut hingga tahun 2100 adalah 0,8 - 1 m, artinya? dr sekarang hingga thn 2100 terjadi kenaikan muka air laut minimal 1 cm/thn. Prediksi tersebut diperkuat oleh hasill penelitian Prof. Hasanudin Z. A., dkk dr ITB menggunakan data pasut pengukuran tahun 1984-2004 (20 thn) yang menunjukkan telah terjadi tren kenaikan muka air laut sebesar 1 cm/tahun. Dampaknya? Genangan air laut semakin meluas di dataran pesisir rendah seperti Jakarta dan Pantura Jawa umumnya.
 
Perubahan iklim juga berimplikasi terhadap intensitas gelombang ekstrim. Dalam dekade terakhir, tercatat hampir setiap tahun Jakarta mengalami banjir rob akibat gelombang ekstrim dan pasang purnama. Gelombang juga berdampak terhadap pengikisan pantai, menyebabkan robohnya tanggul dan semakin meluasnya daerah abrasi.
 
Selain perubahan iklim, penyebab lain yang tdk kalah bahayanya namun sering kali luput dari perhatian adalah penurunan tanah. Dataran rendah pesisir Jakarta dan Pantura Jawa umumnya tersusun oleh endapan aluvial sungai yg belum terkonsolidasi, sehingga sangat rentan terhadap proses kompaksi alamiah dan/atau pemadatan oleh beban bangunan. Pertumbuhan kota dengan segala jasa pelayanannya dan tekanan demografi menuntut pengembangan wilayah dan pemanfaatan sumber daya alamnya termasuk air tanah. Pengambilan air tanah secara berlebihan pun berkontribusi terhadap penurunan tanah secara signifikan di Jakarta.Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Heri Andreas dkk., dari ITB menyatakan bahwa Kota Jakarta mengalami penurunan tanah dengan intensitas 1-20 cm/tahun, di beberapa lokasi bahkan ada yg mencapai 25 cm/tahun, dengan rata-rata laju penurunan tanah sekitar 15 cm/tahun. Kini, sudah 14% daerah Jakarta berada di bawah rata² muka air laut dan akan trs meningkat di masa mendatang jika tindakan pencegahan tidak dilakukan.
 
Dua ancaman dari dampak perubahan iklim dan penurunan tanah tersebut menyebabkan Jakarta sangat rawan dan berpotensi tenggelam. Tindakan adaptasi dibutuhkan untuk penanganan cepat agar wilayah banjir pesisir tidak semakin meluas. Empat opsi adaptasi dari IPCC dapat dijadikan acuan sebagai tindakan antisipatif, diantaranya: 1. Protection (perlindungan), 2. Accommodating (akomodasi), 3. Plan retreat (merencanakan pengembangan wilayah jauh dari garis pantai), dan 4. Do-nothing (tidak mengambil tindakan apapun).
 
Dari keempat opsi di atas, opsi perlindungan dan akomodasi yang nmugkin dilakukan di Jakarta, sementara dua opsi lainnya bukan pilihan yang sesuai untuk Jakarta mengingat keterbatasan lahan dan nilai ekonomis yang tinggi dari Kota Jakarta. Opsi perlindungan yaitu dengan membangun tanggul pantai dan sungai disertai pengaturan sistem hidrologi sehingga lalu lintas air dari sungai ke laut dan sebaliknya dapat dikendalikan. Cara iinilazim dilakukan di negri kinci angin Belanda. Selain itu, pembangunan kolam retensi untuk menampung air saat debit tinggi juga dapat mengurangi dampak banjir Pesisir. Sementara, opsi akomodasi adalah membangun dengan bahan yang tidak sensitif terhadap penurunan tanah, seperti kayu dengan konstruksi rumah panggung agar dpt menyesuaikan dgn kondisi kenaikan muka air laut.
 
Dalam perspektif regional dan jangka panjang, mitigasi untuk mengurangi laju penurunan tanah di Jakarta yaitu dengan mengendalikan eksploitasi air tanah dalam, me-recharge lapisan penyimpan air tanah baik secara alamiah maupun buatan untuk mempercepat proses recovery, mengembangkan alternatif suplai air baik untuk industri maupun rumah tangga, menyusun strategi terpadu dalam pengelolaan air (hulu-hilir dan hilir-hilir), membangun sistem database dan monitoring yang memadai, serta mengintegrasikan aspek geoteknik dalam perencanaan dan desain bangunan dan infrastruktur. (Oleh : Tubagus Solihudin, Ph. D)

 

Joko Subandriyo   12 Agustus 2021   Dilihat : 15515



Artikel Terkait: