JAKARTA — Data pantauan global menunjukkan peningkatan tinggi muka air laut, secara rata-rata, 3-5 mm per tahun. Jika ini tidak dicegah dengan hidup minim emisi karbon maka ada potensi beberapa bagian wilayah daratan dunia akan terendam oleh air, termasuk beberapa bagian Indonesia.
Peneliti Oseanografi Pusat Riset Kelautan Widodo S. Pranowo menyebutkan total jumlah air di bumi itu adalah tetap. Air ini bersirkulasi mulai dari darat, ke sungai, ke laut, terevaporasi ke atmosfer, turun lagi ke permukaan bumi menjadi hujan. Bentuknya bisa berbeda tapi jumlahnya sama.
“Jadi kalau ingin mempertahankan siklus air dan bentuknya, maka yang perlu dilakukan adalah bersama melakukan hidup yang meminimalisir emisi karbon,” kata Widodo saat dihubungi Cendana News, Rabu (31/3/2021).
Ia menjelaskan bahwa penyebab utama dari kenaikan permukaan air laut adalah karena mencairnya es di permukaan bumi, terutama di wilayah kutub-kutub.
“Sedangkan penyebab utama mencairnya es di permukaan bumi adalah karena efek gas rumah kaca. Udara di antara atmosfer dan permukaan bumi dinamis dari hangat menjadi panas, atau sering dikenal sebagai global warming,” katanya lebih lanjut.
Masyarakat ilmiah menduga global warming ini selain secara natural, lajunya semakin cepat dipicu oleh era industrialisasi yang meningkatkan emisi karbondioksida. Sementara itu pembangunan di segala sektor pasti memiliki emisi karbondioksida.
“Sehingga apabila kenaikan permukaan air laut ingin dikurangi lajunya maka emisi karbon dioksida haruslah dikurangi atau diatur emisinya. Menyetop pembangunan tidaklah mungkin, namun kehidupan manusia perlu diatur dengan cara hidup sehat yang seminimal mungkin mengurangi emisi karbondioksida,” papar Widodo.
Pandemi Covid19, lanjutnya, tanpa disadari turut mengerem emisi karbondioksida. “Bisa kita rasakan akhir-akhir ini langit Jakarta lebih cerah tanpa diselimuti warna kelabu yang disinyalir adalah karbondioksida,” tuturnya.
Kapus Jaring Kontrol Geodesi dan Geodinamika, Badan Informasi Geospasial (BIG) Dr. Gatot Haryo Pramono menjelaskan bahwa muka air laut dipengaruhi oleh suhu laut, glasier dan penurunan daratan.
“Ketinggian muka air laut terjadi karena suhu udara meningkat dan menyebabkan suhu air laut juga meningkat. Saat suhu air laut meningkat maka air laut memiliki kecenderungan untuk mengembang. Kejadian ini memiliki 30 persen bagian dalam menyebabkan ketinggian muka air laut,” kata Gatot dalam kesempatan terpisah.
Mencairnya glasier atau es abadi juga bisa menjadi penyebab meningkatnya muka air laut. Potensi meningkatnya muka air laut karena glasier ini bisa mencapai 30 persen.
“Sementara yang terbesar, yaitu 40 persen terjadinya peningkatan muka air laut adalah karena daratan yang menurun, yang salah satunya adalah karena penyedotan air tanah secara berlebihan dan menyebabkan tanah turun memenuhi bagian yang awalnya di isi oleh air tanah,” ucapnya.
Gatot menjelaskan bahwa di tingkat global, kenaikan muka air laut terjadi dengan rata-rata 4,4 mm per tahun setelah tahun 2015. Meningkat jauh sejak periode 1900 – 1930 yang hanya 0.6 mm per tahun, lalu periode 1930-1992 yang menjadi 1,2 mm per tahun dan periode 1993-2015 pada angka 3,2 mm per tahun.
“Sementara di Indonesia, berdasarkan data SODA dan altimeter, terlihat tren kenaikan masih di bawah 10 mm per tahun. Sehingga, dengan simulasi kenaikan suhu permukaan laut pada 2 derajat, pada tahun 2100 diperkirakan permukaan laut global akan naik sekitar 30 cm dan Indonesia akan naik sekitar 50 cm, tanpa adanya aspek penurunan atau kenaikan struktur daratan,” pungkasnya.
Sumber Berita : Cendananews
Joko Subandriyo 01 April 2021 Dilihat : 5343