Indonesia   |   English  
Saran Dan Pengaduan

PUSAT RISET PERIKANAN
BADAN RISET DAN SDM KELAUTAN DAN PERIKANAN
×

KKP

Kilas Berita  
BUDIDAYA IKAN SISTEM BIOFLOK: MODEL URBAN FISHERIES UNTUK DKI JAKARTA

Sekitar 11.25 juta jiwa jumlah penduduk DKI pada tahun 2021. Kondisi ini memerlukan pasokan bahan pangan yang cukup besar dan terjamin. Salah satu sumber protein yang dapat dihasilkan dalam jumlah massal dan cepat adalah produk perikanan air tawar. Saat ini telah dikembangkan teknologi bioflok (BFT) yang hemat lahan dan air sangat cocok untuk dikembangkan didaerah perkotaan atau hunian padat penduduk yang juga merupakan pasar produk yang dihasilkan. Tingkat produktifitas BFT adalah 80-100 kg per m3 air untuk ikan lele, sedangkan ikan nila mempunyai tingkat produksi mencapai 40 kg/m3 air. Dengan masa pemeliharaan yang berkisar antara 2-4 bulan , maka diperkirakan BFT ini akan menjadi suatu terobosan selain sebagai pendukung program ketahanan pangan dalam rangka pasokan protein yang cukup dan dapat digunakan sebagai mata pencarian alternatif yang lebih bermartabat di DKI.

  

TEKNOLOGI BIOFLOK (BFT)

Teknologi Bioflok (BFT) sudah mulai diperkenalkan di dunia sejak tahun 1970-an. Teknologi ini semakin berkembang sejak dekade terakhir dengan berbagai kegiatan riset yang dilakukan oleh para peneliti (Emerenciano, et al., 2013; Cab et al., 2012; Avnimelech, 2009 Di Indonesia, penelitian tentang bioflok sudah pula dilakukan diantaranya pada ikan lele (Hermawan et al., 2014), ikan nila (Nugroho et al., 2020; Widarni et al., 2012; Rivandi, 2014; Suryaningrum, 2014) dan udang (Nurhatijah et al., 2016). Pengembangan skala bisnis telah dilakukan sejak akhir tahun 2017 di daerah Cianjur oleh pembudidaya setempat.

 

BFT mempunyai beberapa kelebihan diantaranya memelihara atau berbudidaya ikan dengan kebutuhan air dan lahan yang minimal bahkan terkadang tanpa mengganti air dan tingkat efisiensi pakan yang tinggi (Avnimelech, 2012).. Dalam teknologi ini sisa pakan dan hasil ekskresi ikan yang biasanya menjadi limbah polusi diubah menjadi bahan pakan untuk dimanfaatkan ikan untuk pertumbuhan sehingga mengurangi jumlah pakan yang dibutuhkan. Keseimbangan yang terjadi antara bakteri yang menguntungkan, pakan dan pasokan karbon serta didukung oleh aerasi yang kuat membuat kondisi kualitas air tetap baik, dan flok yang tersusun atas sejumlah bahan organik, plankton dan bakteri dapat dimanfaatkan ikan sebagai pakan (Emerenciano et al., 2013).

 

Dengan monitoring keseimbangan antara sumber C dan N dalam air maka tingkat produktifitas BFT termasuk tinggi. Rackoci et al. (2014) mendapatkan hasil ikan nila antara 13,7-14,4 kg/m3. Sedangkan Luo et al. (2017) mendapatkan tingkat produktifitas ikan nilai yang berkisar antara 32,60-35,83 kg/m3. Penanganan operasional yang sederhana, sarana yang relatif mudah didapatkan, dan dapat dikembangkan secara massal serta tingkat produktifitas yang tinggi dan marjin yang cukup menjanjikan diperkirakan BFT ini dapat dijadikan alternatif sebagai usaha bagi program pemberdayaan masyarakat di wilayah perkotaan seperti DKI Jakarta selain itu juga mendekatkan ke pasar potensial.

 

PRINSIP TEKNOLOGI BIOFLOK

Prinsip Teknologi Bioflok (BFT), secara umum terdapat tiga hal unsur penting yang mempengaruhi keberhasilan dalam usaha budidaya ikan yaitu ketersediaan air dengan kuantitas dan kualitas yang baik, pemberian pakan yang memenuhi nutrien yang dibutuhkan oleh ikan dan penggunaan benih yang berkualitas unggul (Nugroho, 2010).

Salah satu masalah kualitas air utama dalam sistem budidaya ikan secara intensif adalah akumulasi jenis nitrogen anorganik NH4 dan NO yang beracun di dalam air sebagai akibat penggunaan pakan yang kaya protein. Hewan air memerlukan konsentrasi protein  yang tinggi dalam pakan, karena jalur produksi energinya sangat tergantung pada oksidasi dan katabolisme protein. Selain itu, ikan dan udang juga mengeluarkan amonium, yang dapat terakumulasi di kolam.

Di dalam kolam pembesaran ikan secara intensif, karbon dioksida dilepaskan ke udara dengan difusi atau aerasi secara paksa. Sedangkan amonium dioksidasi oleh bakteri menjadi jenis nitrat dan nitrit. Hasil metabolit nitrogen ini yang harus dikurangi sampai batas yang ditolerir oleh ikan. Salah satu upaya untuk menyediakan air yang memadai untuk kehidupan dan perkembangan ikan adalah dengan menggunakan sistem BFT.

Pengelolaan kualitas air yang dilakukan dengan  sistem BFT agar kandungan nitrogen anorganik tidak merugikan untuk kehidupan ikan. Menurut Avnimelech (1999), penurunan amonium dari air melalui asimilasi menjadi protein mikroba dapat dilakukan dengan menambahkan bahan berkarbon kedalam sistem. Karbohidrat yang ditambahkan dengan tepat dapat berpotensi menghilangkan masalah akumluasi nitrogen anorganik dan protein mikroba yang dihasilkan dapat digunakan sebagai sumber protein untuk ikan atau udang.

 

APLIKASI BFT PADA SKALA BISNIS

Ikan Lele.

Serangkaian kegiatan budidaya sistem bioflok telah dilakukan secara komprehensif pada kegiatan bisnis yang riil. Telah dicoba pembesaran ikan lele dengan sistem bioflok dengan menggunakan bak fiber yang bervolume 1 m3. Sistem bioflok dilakukan dengan memanfaatkan bakteri probiotik komersial yang mengandung bakteri Bacillus sp dengan konsentrasi penggunaan 104 sel/l. Sumber karbohidrat yang digunakan adalah molase dengan mempertahankan nilai rasio C/N >15.

Benih ikan lele dipelihara selama 60 hari dengan padat tebar 1.000 ekor/m3. Selama pemeliharaan ikan diberi pakan komersial berupa pelet apung dengan kandungan protein sebesar 32% secara ad libitum. Monitoringdilakukan dengan pemanenan secara bertahap pada saat umur 30 hari, kemudian umur 45 hari, dan selanjutnya panen total umur 60 hari.

Hasil rata-rata pembesaran ikan lele secara bioflok tertera pada Tabel 1. Selama 60 hari, ikan lele telah mencapai ukuran 8-12 ekor per kg relatif sesuai dengan ukuran yang diminta pasar yaitu antara 6-10 ekor per kg (Nugroho, 2007). Selanjutnya terlihat bahwa, nilai FCR selama pemeliharan masih diatas 1 mengindikasikan bahwa ikan lele masih mengandalkan pakan dari pelet komersial yang diberikan.

 

Lebih jauh, keadaan ini dipengaruhi oleh nilai FCR pada pemeliharaan hari 30-45, sedangkan pada pemeliharaan 0-30 dan 45-60 sebenarnya ikan lele telah dapat memanfaatkan protein yang berasal dari flok. Faktor stres diduga sebagai salah satu penyebabnya. Nilai sintasan mengindikasikan hasil tersebut, sintasan dari pemeliharaan 0-30 hari menunjukkan nilai yang paling kecil dibandingkan 2 stadia pemeliharaan berikutnya. Hal ini dapat dipahami mengingat ukuran individu ikan lele saat tebar masih terlalui kecil yaitu  4 gram. Menurut Nugroho (2007), ukuran benih ikan lele yang umum ditebar untuk budidaya adalah sebesar 10 gram. Produktifitas ikan lele yang dipelihara dengan sitem BFT selama 60 hari pemeliharaan adalah sebesar 89,68 kg/m3. Hal ini setara dengan hasil produktifitas ikan lele yang dipelihara dengan sistem total akuakultur1,4 (Nugroho et al., 2013). Hal ini mengindikasikan bahwa lingkungan kualitas air di sistem BFT lebih mendukung pertumbuhan ikan. Kemungkinan lain penyebabnya adalah benih ikan memanfaatkan sumber protein dari bakteri. Namun demikian jumlah pemanfaatanya masih sedikit.

 

Ikan Nila

Menurut Avinemech (2009) sistem BFT dapat memperbaiki efisiensi pakan hingga 30% pada ikan nila. Selanjutnya, pertambahan bobot per hari yang didapat pada ikan nila yang dipelihara dengan sistem BFT berkisar antara 2,8 - 3,86 g/hari atau setara dengan pertumbuhan spesifik bobot rata-rata 3,19% per hari. Keadaan ini relatif lebih besar dengan yang dihasilkan oleh Luo et al. (2017) dengan menggunakan ukuran benih yang lebih  kecil.  Namun,  sintasan  yang dihasilkan oleh sistem BFT pada penelitian ini adalah lebih rendah dibandingkan dengan hasil yang didapatkan oleh Haraz et al. (2018), Sukardi et al. (2018), dan Luo et al. (2017).

 

Hasil biomas terakhir Budidaya ikan nila dengan sistem biofloc dapat mencapai 40 kg per m3 dengan tingkat sintasan > 85% dan Efisiensi pakannya antara 80-90%. Daging ikan nila yang dipelihara dalam sistem biofloc mengandung asam glutamate yang dapat menyebabkan rasa gurih yang lebih tinggi dibandingkan ikan nila yang dipelihara di keramba  jaring apung.

 

 

Nilai Ekonomis untuk Pengembangan di DKI Jakarta

Nilai ekonomis pembesaran ikan lele dan nila dengan sistem BFT ditunjukkan dalam besaran Harga Pokok Produksi (HPP) yaitu biaya yang dibutuhkan per kg produk. Biaya yang dimaksud terdiri dari komponen benih, pakan, bahan pembuat flok dan tenaga listrik. Hasil kajian menunjukkan bahwa nilai rasio pendapatan dan biaya (R/C ratio) masing- masing adalah 1,30 (ikan lele) dan 1,57 (ikan nila). Kondisi ini menunjukkan bahwa budidaya ikan dengan sistem BFT relatif dapat diandalkan sebagai salah satua lternatif usaha bagi masyarakat.Walaupun nilai RC ratio ikan lele lebih kecil dibandingkan dengan ikan nila, luasan area serta waktu yang dibutuhkan relatif lebih kecil dan singkat.

Selain itu, jumlah permintaan yang dibutuhkan pasokan ikan lele di DKI Jakarta setiap harinya lebih besar dibandingkan ikan nila. Tidak kurang permintaan ikan lele di DKI Jakarta pada tahun 2018 adalah minimal sebesar 50 ton per hari sedangkan untuk ikan nila diperlukan pasokan sebanyak 10 ton per hari. Jika divaluasi maka kebutuhan ikan lele setara dengan Rp 900 juta per hari sedangkan ikan nila senilai Rp 280 juta per hari. Nilai in akan semakin besar dengan adanya efek bergulir yang mengikuti proses produksi ikan lele dan nila seperti kebutuhan pakan ikan dan alat bantu perikanan lainnya.

Dengan asumsi 20% kebutuhan pasokan ikan lele dan nila tersebut diatas direncanakan dipasok dengan BFT, maka dalam 1 bulan kebutuhan ikan lele (20% x  50 ton x 30 hari = 300 ton) akan dapat dipasok oleh unit produksi bioflok sebanyak 7 ribu unit kolam ukuran 1 m3 yang setara dengan sekitar 0,7-0,8 ha lahan. Sedangkan untuk ikan nila dibutuhkan unit bioflok sebanyak 850 unit kolam ukuran 10 m3 yang setara dengan 2,1 – 2,2 ha lahan untuk memasok kebutuhan ikan nila sebanyak 60 ton dalam 1 bulan (20% x 10 ton x 30 hari).

Berlandaskan   pertimbangan   tentang   kebutuhan luas lahan dan operasional serta melihat kelayakan secara teknis dan ekonomis maka diestimasi bahwa perkembangan budidaya ikan sistem bioflok di DKI Jakarta dapat berjalan dengan dukungan tenaga operator yang gigih dan dapat ditingkatkan kapabilitasnya melalui program pendampingan dengan institusi perikanan terkait di DKI Jakarta.

  

  Gambar 2. Model bioflok ikan nila

 

 

Oleh : 

Estu Nugroho

Peneliti Pusat Riset Perikanan

 

 

Admin Pusat Riset Perikanan   25 Oktober 2021   Dilihat : 4146



Artikel Terkait: