Salah satu isu keamanan pangan pada produk perikanan ekonomis penting di Indonesia adalah cemaran mikroba patogen, seperti Vibrio parahaemolyticus, Salmonella, E. coli, dan Listeria monocytogenes. Terjadinya penyakit/wabah terkait pangan yang disebabkan oleh cemaran mikroba patogen mulai menjadi perhatian masyarakat. Bahkan Indonesia menjadi salah satu wilayah penyebaran kasus/pandemik mikroba patogen pangan tersebut. Disamping itu, untuk keperluan ekspor, produk perikanan juga harus memenuhi persyaratan dan peraturan yang berlaku di negara pengimpor, salah satunya adalah persyaratan mengenai cemaran mikroba patogen.
Berdasarkan PP No. 86 tahun 2019 tentang Keamanan Pangan, pasal 58, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) merupakan salah satu kementerian yang diberi mandat untuk menyusun norma, standar, prosedur dan kriteria terkait pengawasan keamanan pangan, mutu pangan dan gizi pangan. Adapun fungsi pengawasan tersebut, yang merupakan salah satu bagian dari Risk Management Framework (berdasarkan dokumen panduan yang telah disusun FAO/WHO Tahun 1997), telah dilaksanakan oleh Badan Karantina Ikan dan Pengendalian Mutu Hasil Perikanan (BKIPM) sebagai competent authority melalui kegiatan pengawasan keamanan pangan produk perikanan, baik di Unit Pengolah ikan (UPI), Tempat Pendaratan Ikan (TPI), maupun di pasar/retail.
Ketersediaan profil cemaran mikroba patogen yang ada pada rantai penanganan, pengolahan maupun distribusi produk perikanan merupakan salah satu data/informasi penting yang dibutuhkan oleh para pemangku kepentingan, seperti BKIPM, Ditjen PDSPKP maupun para pelaku industri pengolahan ikan. Data/informasi tersebut digunakan untuk menyusun profil risiko atau kajian risiko agar keamanan dan mutu produk perikanan tetap terjamin. Untuk itu, dalam menyusun profil cemaran mikroba patogen perlu dilakukan pendekatan secara ilmiah (scientific-based approach) agar dapat diterima dan diaplikasikan oleh para pemangku kepentingan. Profil ini disusun untuk memberikan gambaran dan informasi tentang adanya bahaya mikrobiologi patogen yang mengontaminasi produk perikanan tertentu, dan upaya untuk mengurangi risikonya melalui pendekatan HACCP. Data/informasi ini juga dapat digunakan sebagai bahan rekomendasi dan masukan bagi pengambil kebijakan, pelaku usaha perikanan dan pihak terkait lainnya dalam pengambilan keputusan ataupun penyusunan program terkait jaminan mutu dan keamanan produk perikanan, yang diwujudkan melalui konsep strategi penanganan, pengolahan dan distribusi produk perikanan hingga sampai di konsumen sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2015 tentang “Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan serta Peningkatan Nilai Tambah Produk Hasil Perikanan”.
Provinsi Maluku termasuk dalam program prioritas KKP tahun 2021-2024, dengan ditetapkannya Maluku sebagai Lumbung Ikan Nasional (MLIN). Meskipun laporan kasus/penolakan produk perikanan ekonomis penting di Indonesia, khususnya di wilayah Ambon, yang disebabkan oleh kontaminasi mikroba patogen masih rendah, namun jaminan produk yang aman dikonsumsi masyarakat menjadi sebuah keharusan. Untuk itu, KKP melalui salah satu Unit Pelaksana Teknisnya, Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan (BBRP2BKP), bekerja sama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ambon melakukan penyusunan profil mikroba patogen pada produk perikanan ekonomis penting (termasuk TTC dan ikan pelagis lainnya) di beberapa TPI di Ambon-Maluku.
Tim peneliti bidang keamanan pangan dan lingkungan BBRP2BKP, dengan didampingi personil dari BKIPM dan Ditjen Perikanan Tangkap KKP, telah melakukan pengambilan sampel pada tanggal 2-7 Juni 2021, dengan lokasi pengambilan sampel di Tempat Pendaratan Ikan/TPI Eri dan pendaratan ikan di PPN Ambon. Sampel yang diambil adalah: ikan yang didaratkan nelayan di TPI; peralatan yang digunakan dalam penanganan ikan ekonomis penting (tuna, tongkol, cakalang, dan ikan pelagis lainnya); serta air dan es yang digunakan selama penangkapan dan penanganan ikan. Sampel yang diperoleh dari TPI Eri adalah ikan hasil tangkapan nelayan sehari (one day fishing), sedangkan yang di PPN Ambon adalah ikan hasil tangkapan setelah melaut selama 16 hari. Selama kegiatan sampling, juga dilakukan pengamatan terhadap sarana prasarana di tempat pendaratan ikan. Seluruh sampel yang diperoleh dilakukan analisa untuk 5 parameter uji mikrobiologi yaitu Total Bakteri (Angka Lempeng Total/ALT), bakteri Salmonella spp., Escherichia coli, Vibrio parahaemolyticus, dan Listeria monocytogenes.
Menurut Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ambon, Feby Maail, Maluku sebagai Lumbung Ikan Nasional artinya produk perikanan di Ambon harus bisa diterima oleh pasar, baik pasar domestik maupun pasar ekspor. Khususnya untuk pasar ekspor, kualitas ikan perlu memenuhi standar yang diinginkan oleh negara tujuan ekspor. Oleh karena itu melalui penelitian awal ini diharapkan dapat tergambar kondisi perikanan kota Ambon yang sebenarnya.
Lebih jauh lagi, Tim peneliti BBRP2BKP berharap melalui kegiatan riset ini dapat tersusun profil risiko cemaran mikroba patogen pada komoditas hasil perikanan ekonomis penting yang didaratkan di tempat-tempat pendaratan ikan di wilayah Ambon. Profil risiko ini akan menjadi pedoman dalam menyusun peraturan terkait langkah-langkah pencegahan masuknya peluang cemaran mikroba patogen yang dapat berdampak pada kesehatan masyarakat, serta menjamin hasil perikanan yang bermutu dan aman dalam rangka mendukung Maluku sebagai Lumbung Ikan Nasional.
(AB/YY/KW)
Erki Herdian 11 Juni 2021 Dilihat : 1239