Indonesia   |   English  
Saran Dan Pengaduan

BADAN RISET DAN SUMBER DAYA MANUSIA KELAUTAN DAN PERIKANAN
×

KKP

Kilas Berita  
(Problema) Perikanan Rajungan di Kabupaten Bone

Rajungan merupakan salah satu komoditas perikanan dengan nilai jual cukup tinggi. Komoditas ini sudah diekspor sejak tahun 1990-an dan terus menerus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Berdasarkan data organisasi pangan sedunia (FAO) tahun 2007, produksi rajungan Indonesia menempati urutan ketiga setelah Cina dan Filipina dengan nilai produksi 28.000 ton atau sebesar 16.45% dari total produksi rajungan dunia. Kontribusi rajungan Indonesia mayoritas berasal dari perairan Laut Jawa yang mencapai 28% sedangkan dari perairan di sekitar Sulawesi Selatan hanya sebesar 21%. Rajungan yang memiliki nilai ekonomis tinggi ini adalah jenis rajungan batik (Portunus pelagicus).

Kabupaten Bone merupakan salah satu daerah di kawasan pesisir timur Sulawesi Selatan dan merupakan posisi strategis dalam perdagangan barang dan jasa di kawasan Indonesia bagian timur. Secara administratif, Kabupaten Bone beribukotakan Watampone dan  memiliki 27 wilayah kecamatan. Dimana 9 kecamatan diantaranya terdapat di daerah pesisir dan merupakan sentra-sentra pendaratan perikanan. Kecamatan-kecamatan tersebut adalah Cenrana, Tellu Siantinge, Awangpone, Tanette Riattang Timur, Sibulue, Mare, Tonra, Salomekko dan Kajuara.

Dalam melakukan aktivitas penangkapan, nelayan menggunkan perahu motor tempel yang terbuat dari kayu dengan dimensi panjang 6 m, lebar 0.7 m dan kedalaman 0.4 m. Perahu ini menggunakan mesin dengan kapasitas 13 DK (daya kuda).

Alat untuk menangkap rajungan antara lain bubu, jaring insang, sero, garuk dan bagan. Nelayan di kabupaten Bone menggunakan bubu lipat yang dalam bahasa daerah disebut tongkak-tongkak. Bubu merupakan alat tangkap pasif dan berfungsi sebagai perangkap. Bubu lipat ini menggunakan kerangka kawat baja dan jaring penutup berupa tali polyethylene (PE).

Kegiatan penangkapan rajungan dengan bubu dilakukan pada pagi dan sore hari. Kegiatan penangkapan diawali dengan mengisi umpan dalam bubu. Umpan yang digunakan adalah ikan yang memiliki aroma yang menarik bagi rajungan untuk masuk ke dalam perangkap. Pemasangan bubu dilakukan pada sore hari. Bubu dipasang di daerah pinggir pantai yang terletak tidak jauh dari perkampungan nelayan dengan kedalaman perairan sekitar 2.5 sampai 7 meter. Untuk mencapai lokasi penangkapan, membutuhkan waktu 10 sampai 20 menit. Dalam satu kali aktivitas (trip) penangkapan, nelayan membawa bubu sebanyak 50-100 unit bubu. Bubu diikatkan pada tali sepanjang 1 kilometer dengan jarak antara bubu 10 meter. Bubu dipasang selama kurang lebih 12 jam. Nelayan mengambil hasil tangkapan pada pagi hari dan menjualnya ke penampung rajungan.

Selanjutnya rajungan diolah dengan cara merebus selama 15 menit, dilanjutkan dengan  mengupas cangkang dan memisahkan dagingnya. Daging yang dihasilkan kemudian dijual ke perusahaan pengolahan dan pengalengan dan selanjutnya di eskpor. Sebagian dari rajungan ini juga dijual  ke restoran untuk dikonsumsi secara langsung.

Berdasarkan data statistik perikanan kabupaten Bone 6 tahun terakhir, produksi rajungan tertinggi dicapai pada tahun 2006 yaitu sebesar 821.7 ton atau sebesar 0.92% dari total produksi perikanan lautnya dengan kontribusi rata-rata per tahun sebesar 0.69%. Produksi rajungan juga menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun 2005 produksi rajungan mencapai 820.5 ton turun menjadi 308.6 ton pada tahun 2010.

Penyebab menurunnya produksi rajungan ini adalah meningkatnya jumlah alat tangkap yang digunakan nelayan sedangkan daerah penangkapan masih tetap sama. Untuk itu nelayan harus melakukan penangkapan ke daerah yang lebih jauh. Upaya memperluas daerah penangkapan ini harus dilakukan dengan mengganti armada penangkapan menjadi lebih besar agar mampu menjangkau daerah penangkapan yang lebih jauh. Hal ini tentu membutuhkan biaya yang  besar. Problema inilah yang dihadapi nelayan di kabupaten Bone dan perlu mendapat perhatian yang besar.

Sementara itu, potensi rajungan di wilayah ini masih bisa ditingkatkan jika daerah penangkapan diperluas sampai kedalaman 20 sampai 30 meter. Karena berdasarkan siklus hidup rajungan, daerah yang lebih jauh dari pantai merupakan habitat bagi rajungan dewasa. Rajungan dewasa memijah di perairan dengan kadar garam tinggi. Selanjutnya telur menetas mejadi larva dan bergerak menuju daerah pantai atau estuari untuk melanjutkan siklus kehidupannya sampai remaja. Selanjutnya rajungan muda akan bergerak menuju perairan yang lebih dalam sampai menjadi dewasa dan melakukan pemijahan untuk siklus kehidupan berikutnya.

Untuk itu diperlukan adanya upaya bantuan dana yang berupa pinjaman dari bank atau sumber pendanaan lain yang bisa digunakan oleh nelayan. Untuk mengakses pinjaman seperti ini nelayan membutuhkan bimbingan teknis dari instansi ataupun direktorat jenderal yang terkait seperti dinas kelautan perikanan yang ada di daerah maupun direktorat jendral perikanan tangkap yang ada di kementerian kelautan dan perikanan.

Dengan demikian diharapkan nelayan dapat dengan mudah memperoleh bantuan dana untuk mengembangkan usaha penangkapan dan meningkatkan hasil tangkapan. Hal ini sangat penting untuk mendapat perhatian karena alat tangkap bubu merupakan alat tangkap yang ramah lingkungan. Dengan menggunakan alat tangkap ini, penangkapan rajungan tetap dapat dilakukan secara berkelanjutan tanpa merusak lingkungan. Hal inilah yang menjadi harapan dan dambaan seluruh insan perikanan laut Indonesia.

(Penulis: Duranta Kembaren - Balai Riset Perikanan Laut)

Data BRSDM   13 Agustus 2018   Dilihat : 4270



Artikel Terkait: