Indonesia   |   English  
Saran Dan Pengaduan

BADAN RISET DAN SUMBER DAYA MANUSIA KELAUTAN DAN PERIKANAN
×

KKP

Kilas Berita  
Koi Herpes Virus Sapu Bersih Produksi Ikan Mas Di Indonesia

Para pembudidaya ikan mas di Indonesia masih menangis. Serangan Koi Herpes Virus (KHV) bisa menggagalkan panen mereka hingga 100%. Kejadian ini sudah berlangsung sejak Maret 2002. Bagaimana peran pemerintah untuk menanggulangi kasus ini?

Ikan mas dan koi termasuk salah satu komoditas unggulan yang ditargetkan dapat mendukung program peningkatan produksi budidaya perikanan sebesar 353% oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan pada akhir tahun 2014.

KHV biasanya menyerang ikan mas konsumsi maupun ikan koi (Cyprinus carpio) sehingga ikan tersebut dikenal sebagai target inang spesifik KHV atau specific host target. Ikan lain aman dari serangan virus ini, bahkan spesies golongan cyprinid lainnya seperti common goldfish (Carassius auratus) dan grass carp (Ctenopharyngodon idella) menunjukkan  tidak terserang KHV.

Sentra budidaya ikan mas konsumsi di Jawa Barat dan sentra budidaya ikan koi di Kabupaten Blitar dan Tulungangung kembang-kempis akibat serangan KHV. Bahkan semua pembudidaya ikan mas dan koi di seluruh nusantara tidak luput dari serangan KHV.

Penyebaran KHV secara horisontal yaitu menyebar melalui kontak langsung antara ikan sakit dengan ikan yang belum terinfeksi, bisa melalui air di kolam, atau peralatan, saluran irigasi, tanah dan lumpur tempat ikan dipelihara sangat berpotensi menyebarkan KHV.

KHV adalah virus yang dapat menyebabkan kerusakan insang yang diawali dengan memucatnya warna insang pada lembaran-lembaran insang. Insang tampak seperti berlumpur dan ada yang sampai membusuk, kadang-kadang diikuti geripis di pinggir insang. Biasanya kondisi ini diikuti dengan infeksi sekunder bakterial seperti kulit melepuh maupun luka borok di permukaan tubuh, kadang-kadang disertai pendarahan pada sirip/badan. Setelah dilakukan pembedahan maka tampak pada organ dalam seperti hati, limpa dan ginjal mengalami perubahan warna atau rusak. Gejala klinis lain yaitu nafsu makan berkurang selain gerakan ikan yang menjadi lambat dan sering muncul di permukaan air dalam keadaan megap-megap.

Serangan KHV tidak hanya terjadi di  Indonesia. Berdasarkan sejarahnya, serangan KHV menyerang pertama kali pada tahun 1998 dan terjadi di Israel tahun 1999. Menurut Hartman et.al dalam situs resmi Universitas Florida bahwa beberapa kasus juga telah menyerang negara Amerika Serikat, Eropa, dan Asia. Selain itu penyakit KHV dapat menyebabkan kematian massal 80–100% dari populasi ikan mas dan umumnya pada kondisi suhu air 72–81°F (22–27°C). Serangan virus ini dapat terjadi pada berbagai umur ikan. Namun berdasarkan hasil uji kohabitasi, menunjukkan bahwa ikan ukuran benih lebih rentan dibandingkan dengan ukuran induk.

Pemerintah punya andil besar dalam penanggulangan KHV di Indonesia karena selain serangan KHV bersifat sebagai wabah nasional juga dapat mempengaruhi tercapainya target peningkatan produksi perikanan sebesar 353%.

Regulasi tentang pelarangan peredaran ikan mas dan koi dari daerah yang terserang KHV ke daerah baru yang belum terserang, merupakan empati pemerintah agar kerugian yang dialami oleh pembudidaya tidak berlangsung terus menerus. Bagi daerah yang fasilitas ikan mas dan koi sudah pernah terjangkiti KHV, upaya awal berupa pemusnahan ikan yang terserang merupakan langkah tepat meskipun menuai banyak protes dari masyarakat pelaku pembudidaya ikan.

Pendampingan dan penyuluhan bagi pembudidaya ikan mas dan koi juga sangat penting dilakukan. Pemerintah harus mensosialisasikan konsep biosekuriti (biosecurity) dan langkah manajemen yang baik (good management practices) pada pembudidaya di seluruh nusantara.

Biosekuriti didefinisikan sebagai serangkaian usaha untuk mencegah atau mengurangi peluang masuknya suatu penyakit ke suatu sistem budidaya dan mencegah penyebarannya dari suatu tempat ke tempat lain yang masih bebas. Prinsip dasar dalam penerapannya adalah isolasi dan desinfeksi. Di Indonesia khususnya sektor perikanan, istilah dan pelaksanaan biosekuriti masih sangat relatif baru sehingga konsep ini belum banyak diterapkan. Paling tidak ada dua hal yang menyebabkan para pembudidaya belum melaksanakan program ini, antara lain kurangnya pengetahuan terutama tentang besarnya biaya dalam penerapan biosekuriti tanpa mempertimbangkan keuntungan yang akan diperoleh. Di sinilah peran besar pemerintah untuk dapat konsisten mendampingi pelaku pembudidaya ikan mas dan koi.

Good Management Practices (langkah manajemen yang baik) dapat diterapkan untuk mengurangi potensi terjadinya serangan KHV. Adapun beberapa contoh yang dapat  dilakukan adalah mengurangi kepadatan, menstabilkan suhu air ataupun langkah-langkah  sederhana seperti menyingkirkan ikan yang mati dari kolam, karena ikan yang sakit dan mati bersifat sebagai pembawa virus.

Pemerintah juga dapat memfasilitasi untuk deteksi dini KHV, misal dengan bekerja sama dengan dinas perikanan setempat untuk penggunaan mesin PCR (polymerase chain reaction). Hingga saat ini metode deteksi dengan PCR adalah metode paling cepat untuk mengetahui adanya serangan KHV. Tanpa difasilitasi pemerintah sangat sulit bagi pembudidaya terutama yang kelas menengah ke bawah bisa mendeteksikan ikannya mengingat biaya penggunaan PCR yang cukup mahal.

Langkah nyata pemerintah berikutnya adalah pembuatan vaksin KHV yang hingga saat ini masih terus diteliti dan dikembangkan. Kementrian Kelautan dan Perikanan melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan serta Direktorat Jendral Perikanan Budidaya, dan pihak perguruan tinggi di Indonesia sudah mulai membuat dan mengujikan vaksin KHV.

Seluruh masyarakat terutama pelaku pembudidaya ikan mas dan koi menaruh harapan besar terhadap keberhasilan vaksin yang masih terus diuji oleh pemerintah.

(Penulis: Lili Sholichah - Balai Riset Budidaya Ikan Hias)

Data BRSDM   22 Juni 2018   Dilihat : 14279



Artikel Terkait: