JAKARTA (11/11) – Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo terus menjaring masukan dari berbagai stakeholders kelautan dan perikanan guna meramu kebijakan untuk memajukan industri kelautan dan perikanan 5 (lima) tahun ke depan. Pada Senin (11/11), Menteri Edhy menerima kunjungan dari Walikota Pangkal Pinang, Toba Surimi Industries, dan Komunitas Masyarakat Maritim Indonesia (Kommari) secara terpisah di kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Jakarta.
Walikota Pangkal Pinang, Maulan Aklil, dalam kunjungannya menyampaikan bahwa sebagai wilayah pesisir, Pangkal Pinang memiliki potensi kelautan dan perikanan yang besar. Namun, saat ini belum dapat berjalan optimal karena keterbatasan infrastruktur dan sarana prasarana pendukung. Untuk itu, ia meminta dukungan KKP untuk membangun cold storage demi menjaga mutu perikanan sehingga dapat diekspor.
“Jadi Pak, memang sekarang destinasi pasar di Bangka Belitung itu ada di Pangkal Pinang. Tapi kita belum punya sarana prasarananya. Cold storage ikan belum ada,” ujarnya.
Sejalan dengan itu, Maulan menyampaikan bahwa Pangkal Pinang memiliki lahan seluas 22 hektar yang dapat dimanfaatkan untuk membangun Pasar Ikan Modern (PIM). Menteri Edhy pun menyambutnya dengan baik.
“Bagus itu, pusat kuliner. PIM tak hanya bermanfaat untuk mendekatkan ikan dengan masyarakat, tetapi juga bisa menjadi destinasi wisata. Kalau bisa, potensi ekspor ikan juga nanti dari situ,” ujarnya.
Dalam pertemuan selanjutanya, Menteri Edhy menerima kunjungan dari Direktur Utama Toba Surimi Industries, Gindra Tardy. Pelaku usaha perikanan yang berdomisili di Medan, Sumatera Utara ini menceritakan bahwa perusahaannya telah memproduksi berbagai produk perikanan ekspor berupa rajungan, olahan seafood beku, maupun kalengan sejak tahun 1998. “Hampir semua produk itu ekspor. Mungkin hanya kurang dari 0,5 persen yang untuk lokal. Jadi, industri kami itu sangat padat karya Pak,” ucapnya.
Meskipun begitu, ia menyampaikan bahwa saat ini ekpor kepiting soka yang dilakukan oleh Toba Surimi Industries harus terhenti sejak berlakunya Peraturan Menteri (Permen) KP Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penangkapan Lobster, Kepiting, dan Rajungan. Permen ini membatasi ekspor lobster, kepiting, dan rajungan dengan ukuran tertentu guna menjaga keberlanjutannya di alam dan meningkatkan nilai tambah. Gindra mengatakan, aturan ini terpaksa menghentikan ekspor kepiting soka yang dulu dilakukan oleh perusahaannya.
“Pada saat itu, kepiting soka kita omzetnya USD1 juta per bulan. Tapi tiba-tiba dilarang Pak. Sedangkan ini sebenarnya sangat potensial, pasarnya pun lagi naik. Sayangnya waktu itu dilarang, terpaksa kita berhenti,” tuturnya.
Mengacu pada Permen tersebut, kepiting harus memenuhi standar berukuran berat di atas 200 gram atau lebar karapas di atas 15 cm untuk dapat diekspor. Di sisi lain, Gindra mengatakan bahwa sulit bagi kepiting soka untuk memenuhi standar tersebut sehingga ekspornya pun terhenti. Untuk itu, Gindra berharap agar KKP dapat mengkaji ulang peraturan tersebut untuk menghidupkan kembali geliat ekspor kepiting soka Indonesia dalam industri global.
Menanggapi usulan ini, Menteri Edhy mengatakan bahwa dirinya akan mengkaji kembali aturan tersebut, sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo untuk mengangkat sektor budidaya perikanan. “Masalah kepiting soka sudah menjadi catatan kami. Kita akan perbaiki nanti tetapi kita minta waktu. Nanti kita akan mengundang stakeholders dan para ahli untuk mendengar berbagai pertimbangan,” ucapnya.
Selanjutnya, Ketua Umum Komunitas Masyarakat Maritim Indonesia (Kommari), Henry Sutiyoso, beserta jajarannya menyampaikan sejumlah usulan kepada Menteri Edhy. Ia menyampaikan, Kommari tengah melakukan sejumlah permodelan usaha untuk memajukan industri di sektor maritim. Salah satunya dengan mengembangkan budidaya perikanan di sejumlah pesantren.
“Untuk melakukan itu semua, kita butuh regulasi yang mendukung. Contohnya, kalau kita bicara daya saing, kita harus ngomong cost produksi,” katanya.
Di Aceh misalnya, Plt. Ketua DPD Aceh Kommari, Edi Warsa menyampaikan bahwa daerahnya memiliki 18 kabupaten/kota yang memiliki garis pantai pesisir. Hal ini menjadikannya daerah yang potensial untuk membangun sektor kelautan dan perikanan. Untuk itu, ia mengusulkan agar KKP turut meningkatkan pengembangan SDM masyarakat pesisir dan nelayan di Aceh. Salah satunya, dengan memfasilitasi sarana prasarana pendidikan berupa laboratorium kerja yang dikerjasamakan dengan Sekolah Tinggi Perikanan (STP).
“Kemudian, perlu adanya pelatihan keterampilan untuk nelayan, yang dalam hal ini adalah Ankapin (Ahli Nautika Kapal Perikanan) dan Atkapin (Ahli Teknik Kapal Perikanan). Juga pelatihan keterampilan untuk anak nelayan. Kemudian, perlu juga sarana prasarana nelayan di 18 kabupaten/kota tersebut,” pintanya.
Sementara itu, Ketua DPD Sumatera Selatan Kommari menyampaikan tantangan yang dialami oleh nelayan Sumsel karena lautnya luas dan dibatasi oleh Selat Bangka sehingga ikan hasil tangkapnnya tidak tercatat di Pelabuhan Perikanan. Ia mengatakan, sebenarnya Sumsel sudah memiliki TPI yang telah dibangun 15 tahun lalu namun belum berfungsi dengan optimal karena masih kurangnya sarana prasarana.
“Kita tidak punya pendingin ikan (cold storage) juga, mungkin kita laporkan kepada Bapak supaya bisa dikerjasamakan dengan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) setempat,” ujarnya.
Adapun Ketua DPD Banten Kommari, Nawawi, menyatakan bahwa Banten sudah memiliki 18 pelabuhan perikanan. Namun demikian, infrastruktur yang tersedia masih terbatas dan tertinggal jauh dari Jakarta. “Di Banten itu paling besar kapal 30 GT yang bisa masuk. Di atas 30 GT sepertinya tidak bisa,” ucapnya.
Ia juga menyoal pelarangan 16 jenis alat tangkap tidak ramah lingkungan yang diatur dalam Permen KP No. 71/2016. Sebabnya, menurut Nawawi, mayoritas kapal yang berada di Banten menggunakan alat tangkap cantrang sehingga banyak dari mereka yang harus berhenti melaut. Oleh sebab itu, ia meminta pemerintah mempertimbangkan kembali peraturan tersebut.
Merespon berbagai usulan tersebut, Menteri Edhy menyatakan bahwa KKP akan meneruskan program-program yang memperkuat nelayan dan SDM. “Secara prinsip, dalam 5 tahun lalu program itu sudah ada dan kami tidak akan ubah. Malah mungkin, kalau anggarannya cukup akan ditingkatkan, dimatangkan, dan dimantapkan. Bagi yang masih kurang, akan dioptimalkan. Namun kalau sudah kita perbaiki tidak juga cocok, kami akan carikan program lain yang lebih layak,” ucapnya.
Terkait infrastruktur industri perikanan di Sumatera Selatan, Menteri Edhy membenarkan bahwa TPI yang sudah ada sejak lama belum beroperasi optimal karena belum tersedianya infrastruktur yang menyeluruh. “Cold storage-nya ada, tapi tidak ada air bersih. Airnya payau, asin. Akhirnya tidak ada tindak lanjut setelah peresmian. Tetapi beberapa bantuan sudah diberikan pemerintah berupa kapal dan jalanan. Nanti optimalisasi penggunaan kapal untuk nelayan itu akan dilakukan ke depannya oleh Dirjen Tangkap. Tak hanya itu, nanti sektor daya saing dan budidaya juga akan menjadi terobosan kita,”jelasnya.
Adapun terkait usulan mengenai alat tangkap, Menteri Edhy menyatakan tak akan gegabah dalam mengambil keputusan. Ia menyatakan akan terus berkomunikasi dua arah dengan stakeholders terkait sebelum melakukan peninjauan terhadap Permen yang ada.
“Bapak/Ibu sekalian, masalah Permen-Permen alat tangkap jangan ragu. Saya sekali lagi tidak mau gegabah. Butuh waktu. Kita akan dalami lebih detil. Bikin keputusan itu mudah sekali tapi yang paling sulit adalah menghadapi realisasi dari keputusan itu karena kita tidak mau keputusan ini dibuat atas dasar keinginan KKP semata. Kita mau keputusan ini dibuat atas dasar kebutuhan seluruh stakeholders kelautan dan perikanan,” tuturnya.
“Tentunya, kita bikin keputusan kan untuk menjaga keseimbangan, menjaga keberlanjutan, dan menjaga kepentingan semua sektor sehingga tidak ada saling mengganggu. Ini yang harus kita hati-hati,” pungkas Menteri Edhy.
Tak ketinggalan, ia juga menekankan arah KKP mengembangkan budidaya perikanan ke depan, sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo. Menteri Edhy pun mengajak Kommari untuk bekerja sama dalam program-program budidaya bagi masyarakat di lapangan.
“Budidaya perikanan ini kalau dioptimalkan bisa memberi keuntungan sampai 30 persen, bahkan lebih. Masih banyak celah-celah yang bisa kita tingkatkan dari sektor budidaya. Nah, saya minta teman-teman Kommari bila punya program bisa kita kawinkan,” pungkasnya.
Lilly Aprilya Pregiwati
Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama Luar Negeri
Admin KKP 11 November 2019 Dilihat : 722